Beberapa tahun terakhir, telah muncul hal baru yang mampu menjadi daya tarik dari sebuah entitas sosial dan menjadi bagian dari budaya serta kewilayahan. Bila berbicara tentang budaya lokal kini tak bisa lagi meninggalkan unsur kulinernya. Seperti halnya daerah lain di Indonesia (betapa kayanya negeri kita ini), Paranggupito, sebuah wilayah kecamatan yang terletak disebelah selatan Kabupaten Wonogiri, juga mempunyai kuliner khas yang (menurut saya) cukup ngangeni.
Kuliner khas ini hanya bisa dijumpai di beberapa tempat di Paranggupito. Jumlah warung makan – pada tahun 2010 – di kecamatan ini sangat jarang, tidak lebih dari 10 buah. Kecuali bila Pahing tiba, dimana mayoritas warga Paranggupito, bahkan dari kecamatan lain berduyun – duyun ke pasar satu – satunya di Paranggupito. Warga disini menyebutnya Pasar Ketos, atau Pasar Pahing.
Selama dua tahun di Paranggupito, ada tiga makanan yang – hingga kini – masih selalu terbayang rasanya setiap kali disebutkan namanya. Thiwul, jangan gerus dan panjul.
1. Thiwul
Thiwul dan wonogiri. Bisa anda pisahkan? Agak susah memang. Sebagian besar wilayah Wonogiri berupa tegalan/ ladang yang minim pengairan. Untuk itulah tanaman pangan yang cocok berkembang di wilayah ini adalah singkong. Nah, singkong sebagai bahan baku dari thiwul inilah yang melimpah di kecamatan Paranggupito.
Disinilah saya merasa keadilan yang luar biasa dari Sang Pencipta. Disaat tak lagi tanah bisa ditanami padi, maka singkong menjadi kunci. Karena keblingernya orde baru, dengan ambisi suksesnya swasembada beras (bukan ketahanan pangan), maka bangsa kita kini kecanduan nasi.
Kembali ke thiwul. Proses pembuatannya sangat sederhana. Tapi tidak dengan rasanya. Saya sering menjadikannya teman dari tuna bakar dan sambal bawang mentah. Luar biasa. Ditambah teh panas dan rokok, diiring lagu campursari sambil menatap ombak laut selatan. Lengkap.
2. Jangan Gerus
Adalah sayur khas Paranggupito. Jangan (sayur) gerus (lombok). Sayur lombok? Iya, sayur lombok. Pertama kali mendengarnya saya agak ngeri. Tampilannya juga tidak begitu menarik. Tapi pernah suatu saat (karena segala sesuatu pasti ada kali pertamanya) saya mencoba – jujur, pertama kali agak terpaksa – pedas luar biasa. Bagaimana tidak? Isinya lombok semua. Diiris agak sedang, diselingi tempe mlandhing dan diguyur kuah segar.
Keringat yang mengucur, biasanya dianggap sebagai tanda kepuasan, tanda kenikmatan. Demikian pula jika menyantap jangan gerus ini. Nasi dan jangan gerus biasanya disajikan dalam kondisi panas (bukan hangat, tapi panas), ditambah tempe goreng, dan teh panas (bukan hangat juga..). Luar biasa keringatnya. Dari ubun – ubun. Puas. Istilah warga dusun Sawit desa Parang : Maseg.
Tiga jam kemudian, biasanya perut mulai mulas. Ha..ha.. dasar perut manja. Pernah teman se-kosan – seorang dokter sekaligus kepala puskesmas paranggupito – membuat hipotesa bahwa banyaknya warga yang mempunyai tekanan darah tinggi bisa jadi dikarenakan kebanyakan mengkonsumsi jangan gerus ini. (atau jangan-jangan kebanyakan obat ya dok?)
3. Panjul
Adalah sejenis ikan cucut yang hidupnya bergerombol (kayak anak punk) di lautan luas. Panjang dari ikan ini rata-rata lebih dari 70cm, dengan bentuk tubuh yang sangat aerodinamis. Rasanya luar biasa. Ndaging. Durinya tidak banyak. Mirip tuna tapi panjang.
Ikan ini munculnya musiman, dan cara paling mantab untuk mendapatkannya adalah dengan memancing, untuk tetap menjaga kesegarannya. Karena bergerombol, teknik memancingnya-pun harus profesional benar. Mata kail harus tepat berada didekat moncong ikan, dan biasanya sekali tersambar umpannya, ikan yang lain akan segera menjauh (herannya, kenapa mereka tidak menolong kawannya ya?)
Bagi yang tidak bisa memancing, atau hobi memancing tapi nggak kuat angin laut, cara mendapatkannya adalah memesan kepada pemancing – pemancing tersebut. Satu ekor ikan biasanya berkisar antara 50 – 80 ribu. Mahal? Tidaklah, sudah sepantasnya.
Bakar atau goreng tetap nikmat. Apalagi dengan thiwul dan sambel bawang. Dijamin, berkeringat!!
Sebenarnya masih banyak makanan/ kuliner lain khas Paranggupito. Tapi bagi saya thiwul, jangan gerus dan panjul meninggalkan kesan mendalam. Bravo Paranggupito!!! Cintai kulinermu, cintai budayamu.
Tiwul memang ikon kabupaten Wonogiri, tapi ternyata banyak orang wonogiri yang belum pernah makan tiwul. Untung saya anak paranggupito, jadi masih bisa tahu rasanya tiwul jangan gerus dan panjul, hehehe. Mampir gubuk saya mas, dusun kloposari tahu kan?
BalasHapussaya juga beruntung mas, baru 2 tahun sudah merasakan panjul.. (thanks to mas prapto dan mbak yuyun, untuk panjul, thiwul dan sambel bawange..)
BalasHapuskloposari? nggih mas, semoga ada waktu.
mantab jangan gerus , kuliner yg saya cari tiap kali mudik k paranggupito, tiap silaturahmi k rumah paklik atau pun pakde , pasti njaluk e , jangan geruse ndi lik ?
BalasHapus