Banyak
keluhan dari kawan-kawan UPK perihal beban kerja mereka yang semakin
berat. Belum lagi jika mulai bicara soal masa depan UPK secara
kelembagaan. Dampak yang muncul semakin nyata. Kinerja UPK menurun.
Tunggakan perguliran semakin banyak. Peluang terjadinya penyalahgunaan
dana semakin besar. Hal ini nampak pada sebagian besar UPK, terutama
yang berumur 3 tahun keatas. Sehingga pada beberapa tahun terakhir,
menjelang phase out, muncul pertanyaan besar dari banyak pelaku PNPM Mandiri Perdesaan; Quo Vadis UPK? Mau dibawa kemana UPK?
Berangkat
dari pertanyaan diatas dan tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun,
saya mencoba melihat dari sisi manajerial UPK dengan merunut kebelakang
sejarah perkembangan UPK.
UPK
lahir seiring dengan lahirnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pada
tahun 1998. Saat itu ada tiga kecamatan di tiga kabupaten (termasuk
Sukoharjo) yang menjadi pilot project-nya.UPK saat itu merupakan
kepanjangan dari Unit Pengelola Keuangan. Desain awalnya adalah sebagai
lembaga penyalur dana program. Dana yang disalurkan adalah dana Bantuan
Langsung Masyarakat, salah satunya untuk Simpan Pinjam Kelompok, baik
UEP maupun SPP.
Seiring
dengan berjalannya waktu, berbeda dengan program lain sebelumnya, dana
Simpan Pinjam ini ternyata bisa kembali dan terus bergulir. Perkembangan
ini kemungkinan besar tidak diprediksi sebelumnya oleh perancang
program. Sehingga tidak heran bila kemudian muncul lembaga - lembaga
untuk menunjang kebutuhan UPK. BP (Badan Pengawas) UPK baru muncul
sebagai jawaban perlunya pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja
UPK. BKAD muncul sebagai jawaban perlunya payung hukum terhadap
pelaksanaan kegiatan ke-UPK-an. Tim Verifikasi Perguliran muncul sebagai
jawaban perlunya lembaga independen (diluar UPK) untuk melakukan
verifikasi pengajuan perguliran. Hal ini meyakinkan saya akan satu hal;
kelembagaan UPK tidak by design.
Kini
UPK menjadi Unit Pengelola Kegiatan. Dengan demikian UPK mampu lebih
bergerak bebas dalam kegiatan perguliran dan pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini telah diupayakan menjadi roh UPK
sejak awal PPK tahun 1998. Meskipun kini oleh rezim SBY dirubah menjadi
PNPM Mandiri Perdesaan, dibawah payung besar Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat. (Penting untuk saya sampaikan disini agar tidak
muncul lagi bias - bias politik dalam pelaksanaan program ini). Banyak
kegiatan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh UPK
secara mandiri (diluar keprograman) melalui dana operasional UPK maupun
surplus setiap akhir tahunnya.
Kegiatan
yang dilakukan oleh UPK semakin berkembang. Cakupan program semakin
meluas. Rentang daya jangkau (aksesibilitas) pelayanan terhadap kelompok
binaan semakin besar. Namun struktur organisasi/ kepengurusan UPK masih
ajeg. Meskipun kini muncul lembaga pendukung UPK, mulai dari
BKAD, BP UPK hingga Tim Verifikasi Perguliran dan Tim Penyehatan
Pinjaman. Kepengurusan organisasi UPK itu sendiri masih sama dengan saat
lahirnya UPK pada tahun 1998 (ketua, sekretaris dan bendahara). Padahal
struktur organisasi ini muncul karena kebutuhan UPK sebagai penyalur
dana, sebagai persayaratan bahwa perlu ada penanggungjawab/ wakil
lembaga (ketua), perlu ada administrator (sekretaris) dan pengelola
keuangan (bendahara). Penambahan pengurus (Staff UPK) juga belum
menjawab tantangan yang dihadapi. Bahkan di beberapa UPK, staff UPK
menjadi staff pemberdayaan. Menurut saya hal ini justru memisahkan (dan
menjauhkan) roh pemberdayaan dari UPK. Ini yang saya sebut dengan
paradoks UPK.
Petunjuk
Teknis Operasional (PTO) memang mengatur sistem kelembagaan UPK.
Perubahan telah berkali - kali dilakukan terhadap PTO. Perubahan ini
tentunya menjawab perkembangan di lapangan. Namun PTO lupa bahwa tujuan
dari program ini salah satunya adalah melembagakan pengelolaan dana
bergulir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dan salah satu hal
yang menjadi ciri dari pemberdayaan masyarakat adalah proses. Demikian
pula dengan perkembangan kelembagaan UPK yang telah banyak mengalami
proses pendewasaan lembaga. PTO seharusnya mampu menjawab ini. Sehingga
pertanyaan besar diatas (Mau Dibawa Kemana UPK?) perlahan akan terjawab.
Kembali
melihat sejarah perkembangan kelembagaan UPK diatas, sebenarnya ada
beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman dalam pergerakan ke-UPK-an
kedepan. Pertama adalah bahwa UPK lahir tidak by design. Sehingga
jangan terlalu banyak berharap kepada perancang program akan masa depan
kelembagaan UPK. Kedua, perkembangan regulasi (PTO) adaptif terhadap
kondisi praktikal di lapangan. Artinya bahwa perancang regulasi akan
melihat perkembangan kelembagaan UPK sebagai dasar penyusunan regulasi
(PTO). Dan ketiga, terbukti bahwa UPK (dan lembaga pendukung lainnya)
mampu menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri
gagah ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya.
UPK
Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri lahir pada tahun 2008, seiring
dengan masuknya PNPM Mandiri Perdesaan di Ngadirojo. Berjalan kurang
lebih 3 tahun, UPK Ngadirojo merasakan hal yang sama. Cakupan kerja
meluas, namun tidak diimbangi dengan pola manajemen kerja yang baik.
Berdasarkan beberapa analisa diatas, muncul keberanian untuk melakukan
terobosan baru. Diawali oleh diskusi non formal antar stakeholder,
muncullah sebuah kesimpulan bahawa struktur kelembagaan UPK sudah basi.
Kesimpulan ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk melakukan perubahan
struktur kelembagaan UPK di Ngadirojo.
Pada tanggal 1 Maret 2012, dilaksanakan rapat kerja UPK Ngadirojo. Diawali dari repotitioning UPK dengan cara mencari letak UPK diantara stakeholder-nya,
baik aspek manfaat maupun aksesibilitas baik kemarin, kini atau nanti.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari jati diri UPK di tengah-tengah stakeholder-nya,
dengan mempertimbangkan aspek kesejarahan dan keprograman serta kondisi
faktual di lapangan. Dari pembahasan tersebut muncul kesimpulan awal
bahwa peran dan fungsi UPK adalah sebagai lembaga penyalur dana dan
lembaga pemberdayaan masyarakat di tingkat kecamatan.
Selanjutnya berdasarkan peran dan fungsi UPK serta aspek manfaat maupun aksesibilitas terhadap stakeholder-nya,
disusunlah SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) UPK yang baru.
Intinya adalah penyusunan pola/ sistem manajerial kelembagaan. Atau
bahasa sederhananya adalah pembagian wilayah kerja. Secara partisipatif
hal ini dilakukan dengan cara mendata cakupan kerja UPK selama 1 tahun
kemarin dan program kerja UPK setahun kedepan. Dari data tersebut
kemudian mampu dipetakan secara bersama, poin - poin kerja mana yang
bisa dijadikan dalam satu wilayah. Hasil dari pengelompokan wilayah
kerja tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian untuk kemudian
dirumuskan dalam SOTK baru.
Struktur
Organisasi dan Tata Kerja yang baru membagi kepengurusan menjadi empat
divisi. Divisi Perguliran, Divisi Program, Divisi Operasional Harian dan
Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia. Masing - masing divisi memiliki
wilayah kerja sesuai dengan penamaan divisinya. Divisi perguliran
bertanggungjawab terhadap proses perguliran sesuai dengan SOP yang telah
disepakati dalam MAD. Operasional Harian bertanggungjawab terhadap
proses keluar masuknya uang dan surat menyurat, serta urusan
ke-rumahtangga-an. Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia mempunyai
cakupan wilayah kerja meliputi pelatihan kelompok masyarakat, penyaluran
surplus, pendampingan kelompok dan jaringan kerja UPK dengan kelompok
masyarakat sebagai target group-nya. Divisi Program mencakup
urusan keprograman; antara lain pencairan dana program dan menunjang
setiap tahapan dalam PNPM Mandiri Perdesaan yang berlangsung secara
reguler. Ketua UPK menjadi Manager, yang berfungsi sebagai controller. Rapat mingguan menjadi sarana evaluasi pelaksanaannya.
Struktur
lama tetap dipertahankan untuk mengakomodasi kepentingan pencairan
dana. Untuk menyelaraskan dengan SK Bupati dan syarat administratif
lainnya. SOTK yang baru adalah upaya manajerial secara internal. Pembagian divisi
diharapkan mampu memaksimalkan kinerja UPK. Hal ini dimungkinkan karena
setiap divisi mampu fokus terhadap cakupan wilayah kerjanya
masing-masing, tanpa harus melunturkan roh pemberdayaan masyarakat.
Poin yang penting disini adalah bahwa UPK
(dan lembaga pendukung lainnya) mampu
menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri gagah
ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya.
Kemandirian UPK berawal dari UPK itu sendiri. Menunggu regulasi baru
yang mengatur kejelasan kelembagaan UPK tanpa merubah paradigma UPK dan
melakukan pergerakan sama saja dengan menunggu godot. Sistem yang coba
dibangun disini tentulah bukan sistem yang sempurna. Tetapi setidaknya
sudah ada yang berani mencoba. Semoga bisa menjadi trigger. Sudah saatnya UPK bergerak mandiri, karena masa depan UPK ada ditangan UPK sendiri.
Catatan:
1.
Kesejarahan UPK dan PNPM Mandiri Perdesaan didapatkan dari mantan
faskab yang telah mengabdikan dirinya pada pemberdayaan masyarakat jauh
sebelum ada PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan, meski tidak ada penghargaan
dari beberapa pihak terhadap pengabdian beliau.
2.
UPK Kecamatan Ngadirojo mampu merumuskan secara mandiri dan
partisipatif lebih dikarenakan komitmen dan kapabilitas yang luar biasa
dari pengurusnya. Terimakasih untuk Bayu, Fitri, Yulia, Jalu dan Wiji.