Beberapa minggu terakhir ini berita tentang dugaan pembantaian terhadap petani di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung, terus mewarnai media massa.
Kejahatan kemanusiaan yang secara kasatmata itu mengiris-iris nurani dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan, dan aksi kekejaman semacam itu bukan yang pertama kali terjadi di negara ini.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia.
Rinciannya: sengketa tanah antara petani dengan pihak perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41), kehutanan (13), pertambangan (tiga), pertambakan (satu), perairan (satu), dan konflik lainnya (dua).
Sepanjang 2010 itu, sekurangnya tiga petani tewas, empat orang tertembak, delapan orang luka-luka, dan sekitar 80 petani dipenjarakan karena mempertahankan hak mereka.
Sementara di tahun yang sama, Komnas HAM mencatat pengaduan kasus sengketa lahan mencapai 819 kasus. Sepanjang September 2007-September 2008, laporan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM dalam pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan jumlah 692 kasus. Itu semua menunjukkan negara tidak berpihak pada kaum tani.
Penyebab Konflik
Tak dapat dipungkiri, penyebab konflik itu terjadi karena negara tidak bersedia melaksanakan apa yang disebut sebagai Pembaruan Agraria, sehingga berbagai ketimpangan dan kesenjangan hak atas kepemilikan tanah terjadi. Ketimpangan kepemilikan tanah itu dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
BPN mencatat, saat ini sekitar 56 persen tanah hanya dikuasai 0,2 persen orang. Sementara di sisi lain, ada sekitar 7,3 juta hektare tanah dikuasai pihak perusahaan swasta dan dibiarkan telantar. Sementara hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.
Rata-rata petani gurem hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Setiap tahun penyempitan lahan bagi petani terus terjadi. Penyempitan lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha.
Saat ini ada sekitar 29 juta hektare untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektare untuk pengusaha hutan tanaman industri, 6 juta hektare dikuasai pengusaha perkebunan sawit, dan 2,4 juta hektare dikuasai Perhutani.
Tentu saja ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sosial di kalangan kaum tani. Tanah yang adalah sumber kehidupan menjadi barang langka yang harus diperebutkan, kalau perlu hingga mati.
Selain itu, ketiadaan kebijakan politik agraria dari pemerintah yang berpihak pada rakyat dan kaum tani di perdesaan, serta tidak adanya birokrasi pemerintah yang pro pada keadilan agraria juga memicu lahirnya konflik agraria.
Ini karena setiap ada pengembangan lahan oleh perusahaan atau perkebunan kerap bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Biasanya pemerintah terkesan membiarkan, jarang berpihak kepada kaum tani.
Makna Pembaruan Agraria
Penulis ingin mengingatkan kembali betapa pentingnya melaksanakan pembaruan agraria, dalam upaya mengakhiri konflik agraria yang merugikan petani.
Dengan demikian harus ada perombakan total pada struktur kepemilikan tanah, demi mengakhiri ketimpangan. Hal itu akan menguatkan akses terhadap sarana dan prasarana produksi ekonomi kaum tani dan membangkitkan usaha pertanian kolektif di perdesaan.
Hanya dengan pelaksanaan pembaruan agraria secara konsisten, bangsa Indonesia dapat mencapai cita-cita keadilan sosial sebagaimana dicanangkan para Bapak Bangsa. Secara gamblang dan jelas, UU Pokok Agraria (PA) No 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa keadilan agraria adalah dasar ekonomi nasional yang akan membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar pembangunan ekonomi ini tentu sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang asli, di mana konsep perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dengan begitu tidak ada ketimpangan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada ketimpangan sosial yang disebabkan sistem ekonomi neoliberal seperti saat ini.
Sebagai jalan menuju terwujudnya keadilan dalam berbangsa dan bernegara, semangat yang terkandung dalam UUPA No 5 Tahun 1960 sangat baik. Ini karena UUPA memberikan amanat agar hak-hak dasar rakyat, terutama para petani gurem dan petani penggarap tanah, bisa mendapatkan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata.
Semangat UUPA yang ingin segera mengakhiri ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu sebenarnya juga bentuk dari cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang ingin memerdekakan diri dari belenggu penjajahan.
Ini karena hakikat perjuangan kemerdekaan dari penjajah adalah perlawanan terhadap penguasaan lahan oleh para pemilik modal asing atas sumber-sumber pokok agraria di Indonesia.
Selain itu, UUPA juga cermin perlawanan rakyat terhadap kebijakan kerja rodi atau penggunaan tenaga rakyat secara murah untuk produksi berbagai komoditas ekspor, yang membuat rakyat Indonesia tertindas di tanahnya sendiri.
Karena itu, tak salah jika Pembaruan Agraria dimaknai sebagai paham kebangsaan. Spiritnya melaksanakan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menegakkan UUD 1945.
Prasyarat Pokok
Sebagai ide dan gagasan, pembaruan agraria sebagai paham kebangsaan tidak akan dapat tercapai tanpa peran serta semua pihak, terutama komitmen dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Bahkan komitmen dan kemauan politik ini adalah prasyarat utama dan pertama agar pembaruan agraria yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini dapat tercipta.
Prasyarat kedua adalah para elite politik dan pejabat birokrasi dalam pemerintah jangan melibatkan diri dalam bisnis ekonomi kapital. Kalau demikian, tanah yang seharusnya tidak menjadi barang dagangan bisa dijadikan komoditas. Akibatnya, konsentrasi penguasaan tanah akan kembali tersentralkan dalam kekuasaan modal yang didukung kekuasaan elite politik.
Ketiga, adanya organisasi-organisasi rakyat, khususnya serikat petani yang kuat dan berperan secara aktif untuk untuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria. Tanpa keterlibatan organisasi petani, gagasan pelaksanaan pembaruan agraria sangat berpotensi menyimpang dan disimpangkan.
Keempat, tanpa data yang lengkap dan akurat, pembaruan agraria bisa salah sasaran. Data ini penting untuk menentukan objek dan subjek dari pelaksanaan pembaruan agraria.
Sebagai paham kebangsaan, gagasan pembaruan agraria rupanya harus kembali didengungkan untuk mengingatkan pemerintah. Pembantaian kaum tani dalam konflik agraria di Lampung dan Sumatera Selatan adalah bukti nyata bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara baik dan benar, malah diselewengkan.
Ini karena memberikan pembelaan terhadap petani atas hak kepemilikan tanah, dan melindungi tanah-tanah petani adalah amanat konstitusi dan undang-undang.
Jangan terulang kasus kekerasan seperti di Mesuji. Akhiri pembantaian kaum tani yang berjuang untuk hak atas kepemilikan tanah, jangan ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pemimpin Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani, dan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).