Kamis, 15 Maret 2012

MUSYAWARAH ANGGOTA DEWAN (MAD) NGADIROJO, BERJUANG BERSAMA UNTUK RAKYAT PERDESAAN

Ahmad Zarif (memegang mik) ikut dalam pembahasan SOP Perguliran pada MAD Ngadirojo

“Dalam musyawarah, wakil – wakil yang hadir harus mempunyai komitmen yang sama, satu persepsi, satu tujuan yaitu untuk kemajuan Ngadirojo, bukan untuk kepentingan masing – masing desa atau kelurahan semata-mata.” Demikian disampaikan oleh Ahmad Zarif, anggota DPRD Wonogiri yang berasal dari desa Kerjo Lor Kecamatan Ngadirojo dalam pembahasan SOP Perguliran pada Musyawarah Antar Desa Pertanggungjawaban, Perencanaan dan Sosialisasi yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 30 Januari 2012 di Pendapa Kantor Kecamatan Ngadirojo.

Musyawarah Antar Desa (MAD) merupakan kegiatan yang dilaksanakan minimal 3 kali dalam satu tahun anggaran, sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Tujuan dari MAD kali ini adalah sebagai forum pertanggungjawaban serta perencanaan bagi UPK dan Sosialisasi pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan tahun anggaran 2012. Sebagai persiapan dan pelaksanaannya, dibentuklah kepanitiaan yang diambil dari unsur Kader Pemberdayaan Desa/ Kelurahan (KPMD/K). Tujuan dari pembentukan panitia MAD selain untuk mempermudah pengelolaan kegiatan juga untuk melibatkan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di tingkat desa secara partisipatif dalam pelaksanaan MAD.

Dihadiri oleh kurang lebih 70 peserta, acara dimulai pada pukul 09.00 WIB oleh Camat Ngadirojo, Drs. M. Ainur Ridho, dan ditutup pada pukul 15.00 oleh Haribowo Giri Wahyudi, SH selaku PJOK. Selain SOP Perguliran, hasil MAD Pertanggungjawaban, Perencanaan dan Sosialisasi antara lain adalah sosialisasi perolehan dana kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2012 sebesar 1,25 Milyar Rupiah dan penetapan alokasi surplus UPK untuk RTM sebesar Rp 111.460.000,- dari total surplus Rp 401.336.998,-. Penggunaan surplus UPK untuk RTM antara lain digunakan untuk Lantainisasi, Jambanisasi dan Bantuan Alat Penunjang Usaha.

Peserta MAD nampak antusias dan partisipatif dalam mengikuti acara demi acara. Terutama pada saat pembahasan Standar Operasional Prosedur Perguliran, sebuah aturan yang disepakati di tingkat kecamatan untuk melandasi pelaksanaan perguliran dana yang dikelola oleh UPK. Kehadiran anggota DPRD Wonogiri, Ahmad Zarif, mampu memberi warna dalam pembahasan SOP tersebut. Beberapa saran dan pendapat dari Zarif menjadi masukan penting bagi SOP Perguliran. 

Berbeda dengan anggota DPRD lainnya yang hadir saat pembukaan dan pulang sebelum dimulainya pembahasan, Zarif justru duduk bersama peserta MAD dan ikut dalam pembahasan SOP Perguliran. Hal ini merupakan perwujudan keterbukaan dalam MAD, dimana tidak hanya wakil – wakil desa yang berhak mengikuti MAD tetapi juga pihak luar pun berhak ikut dalam MAD, selain sebagai wujud keberpihakan DPRD terhadap pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan secara langsung. Sebuah langkah awal yang baik bagi kerjasama antar stakeholder PNPM Mandiri Perdesaan, demi kepentingan rakyat perdesaan. Bukankah anggota DPRD dipilih oleh rakyat juga?

*ditulis oleh Jalu Asmoro, Pengurus UPK Ngadirojo



Selasa, 13 Maret 2012

ALVIN TOFFLER, PPDI DAN THE POWER OF KNOWLEDGE

Penyampaian Materi The Power Of Knowledge pada Pelatihan KPMD Ngadirojo 2011

Beberapa minggu yang lalu, dalam diskusi kecil di Wonogiri dengan beberapa pengurus PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), sempat tercetus oleh Widhi Hartono perihal tingginya biaya politik di negeri ini. Mulai dari pilpres hingga pilkades, dominasi uang sangat luar biasa. Dampaknya adalah kualitas pemimpin terpilih tak lagi bisa diukur dari kapabilitas kepemimpinannya. Peluang untuk korupsi sebagai konsekuensi untuk balik modal juga semakin besar. PPDI beranggapan bahwa high cost politics semakin menjerumuskan masyarakat perdesaan dalam keterpurukan. Untuk itu PPDI berjuang untuk menghilangkan high cost politics tersebut. Dalam diskusi tersebut saya mencoba menjelaskan teori Alvin Toffler dalam Powershift. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk sedikit mereview perihal teori Toffler tersebut dengan beberapa contoh aplikatif dalam ranah perdesaan. Teori inipun telah saya sisipkan dalam materi pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa se-Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri di awal tahun 2011.


Alvin Toffler adalah seorang penulis kelas dunia yang mendapat penobatan sebagai "Sang Futurist", orang yang menggambarkan masa depan (banyak yang menyebutnya, meramalkan masa depan) dengan cukup akurat. Alvin Toffler yang lahir 4 Oktober 1928 di New York, AS, mulai diakui sebagai futurist setelah meluncurkan bukunya yang populer Future Shock pada tahun 1970. Hingga saat ini Alvin Toffler telah menulis delapan buku. Yaitu Future Shock (1970),The Eco-Spasm Report (1975), The Third Wave (1980), Previews & Premises (1983), The Adaptive Corporation (1985), Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century (1990), War and Anti-War (1995), Revolutionary Wealth (2006). Ramalan tentang masa depan dunia ini tentunya tidak didapatkan dari penerawangan layaknya paranormal Indonesia, tetapi melalui analisa mendalam dengan menggunakan pengetahuan dan logika.

Dalam bukunya Power Shift : Knowledge, Wealth, and Violence of the 21st Century, Toffler menjelaskan bahwa umat manusia sejak awal peradabannya mengenal adanya tiga sumber kekuasaan, yaitu kekerasan (kekuatan fisik), kekayaan (uang), dan pengetahuan, tetapi dengan komposisi yang berlainan. Kekuatan dalam masyarakat adalah relasi dari ketiganya tersebut.

Sumber kekuasaan yang pertama adalah kekerasan/ kekuatan fisik/ Violence. Kekerasan atau ancaman kekerasan menghasilkan kualitas kekuasan yang rendah, karena hanya didasarkan pada kemampuannya untuk memberi hukuman.Pemilihan kepala suku di jaman dahulu sangat mempertimbangkan hal ini. Tampilan fisik dan kekuatan menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan kepala suku. Kekuasaan dipengaruhi secara dominan oleh hal ini. Perang Dunia I dan II merupakan perwujudan dari dominasi kekuatan kekerasan.  Dalam kasus Indonesia, Orde baru dapat dipandang sebagai kekuasaan yang menggunakan kekuasaan fisik (dwifungsi ABRI) untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya yang ada. Hingga di akhir orde baru, banyak individu atau kelompok yang berhasil mendominasi kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan fisik sebagai modal utamanya. PDI Perjuangan adalah contoh nyata. Sopo wani mesthi dadi. Hampir disetiap cabang dari PDI Perjuangan didominasi oleh orang - orang yang berani, sehingga kapabilitas dan kemampuan politik yang rendah menjadi salah satu konsekuensinya. Demikian pula dalam pemilihan kepala desa, dengan kedok reformasi, banyak bermunculan tokoh - tokoh baru di desa yang mulai mendominasi desa dengan modal/ sumber kekuasaan kekerasan.

Sumber kekuasaan yang kedua adalah kekayaan/ uang/ wealth. Kekayaan dapat menjadi alat kekuasaan yang lebih baik, karena disamping dapat dipergunakan untuk menghukum, kekayaan dapat dipergunakan untuk memberi hadiah. Orde reformasi menggunakan kekayaan untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya politik yang sedang mengalami pergeseran. Itulah sebabnya, meskipun rakyat sedang dalam cengkeraman kemiskinan, panggung politik mencitrakan berhamburan dengan uang. Tanpa pencitraan seperti itu, panggung yang digelar akan menjadi sepi. Banyaknya pengusaha yang menjadi penguasa adalah konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai Jusuf Kalla, Ical Bakrie hingga Jokowi. Demikian pula pada pemilihan kepala desa. Operasi Fajar menjelang pilkades hingga kini masih mendominasi. Korupsi menjadi konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai dari tingkat pusat hingga kedesa. Hal ini sejalan dengan neo liberalisasi/ fundamentalisme pasar yang mulai masuk dan merasuk dalam segala sendi kehidupan. Segalanya diukur dengan uang. Sehingga biaya untuk berpolitik menjadi sangat mahal. Inilah yang disebut dengan high cost politic, politik biaya tinggi.

Sumber kekuasaan yang paling berkualitas adalah yang ketiga, sumber kekuasaan yang berasal dari penggunaan pengetahuan/ informasi/ kowledge. Dalam pandangan Alvin Toffler tentang perubahan yang terjadi dalam struktur kekuasaan yang mengendalikan dunia sekarang ini, sejak semula bangsa manusia telah menggunakan tiga sumberdaya dalam membangun kekuasaannya, yaitu kekerasan, kekayaan, dan pengetahuan. Akan tetapi baru sekaranglah pengetahuan memiliki peranan dan posisi sentral dalam konsolidasi kekuasaan. Di satu sisi pengetahuan akan dapat menggandakan kekerasan dan kekayaan, di sisi lain pengetahuan juga dapat dimanfaatkan untuk mengefisienkan penggunaan sumber kekuasaan. Menurut Alvin Toffler, sekarang ini kita sedang berada dalam momentum dimana struktur kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dunia sedang mengalami disintegrasi dan suatu struktur kekuasaan yang sama sekali berbeda sedang mengambil bentuknya. Struktur kekuasaan baru, yang ditandai oleh peranan sentral pengetahuan itu, kini sedang muncul pada semua tingkat kehidupan masyarakat bangsa manusia. Pergeseran sumber kekuasaan nampak pada beberapa pendekatan kekuasaan. Penggunaan dialog, penjaringan aspirasi serta jajak pendapat menjadi metode baru dalam perumusan kebijakan. Mulai berkurangnya dominasi uang dalam beberapa pilkada dan pilkades menjadi tolok ukur dari perubahan ini. Kini mulai bermunculan toloh - tokoh baru yang lebih kapabel, karena memang pengetahuan-lah yang menjadi modalnya. Banyak Kepala Desa baru yang muncul tanpa harus banyak mengeluarkan modal/ uang. Hal ini dikarenakan pengetahuan menciptakan efisiensi, melakukan kalkulasi, membujuk dan mengubah lawan menjadi sekutu. Inilah yang disebut sebagai kekuatan pengetahuan (the power of knowledge).

Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan (the power of knowledge) berbeda dengan pengetahuan dalam akademik. Contoh yang diberikan Soedaryanto (pergerakankebangsaan.org) adalah sebagai berikut; Jika seorang murid memperoleh pengetahuan dari sekolah bahwa di bawah pohon beringin itu tidak ada hantunya, dan ketika itu ditanyakan saat ujian maka murid itu menjadi bisa menjawabnya dengan benar, bahwa di bawah pohon beringin tidak ada hantunya. Tetapi sepulang ujian, dan jalan menuju rumah adalah melewati pohon beringin itu, si murid tetap saja tidak mau lewat pohon beringin itu dan mengambil jalan melingkar meski itu jarak tempuhnya lebih jauh. Ini adalah contoh bahwa pengetahuan belum menjadi kekuatan pengetahuan, karena ternyata pengetahuan tersebut tidak berujung pada tindakan kongkret si murid. Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan tidak hanya merubah secara teoritis saja, tetapi hingga pada tataran tindakan dan aplikasi hingga menjadi budaya baru yang didominasi oleh pengetahuan.

Saat ini kita telah memasuki era baru, era dimana informasi telah masuk ke ruang - ruang privat dan individu. Pada era inilah sebenarnya sumber kekuasaan berupa pengetahuan menjadi dominan. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan (power-shift). Maka bagi aktivis pergerakan ataupun politisi muda, pejuang pemberdayaan maupun siapapun yang bergerak dalam ranah kekuasaan, perlu untuk menjadikan kekuatan pengetahuan sebagai sumber daya kekuasaan. Selain untuk menekan high cost politics, kekuatan pengetahuan menurut saya justru akan meningkatkan kualitas dan derajat kemanusiaan kita. Dengan meyakinkan diri masing - masing, perubahan tak lama lagi akan terwujud. Sejarah tidak akan menunggu.

Jumat, 09 Maret 2012

STRUKTUR KELEMBAGAAN UPK SUDAH BASI !!!


Banyak keluhan dari kawan-kawan UPK perihal beban kerja mereka yang semakin berat. Belum lagi jika mulai bicara soal masa depan UPK secara kelembagaan. Dampak yang muncul semakin nyata. Kinerja UPK menurun. Tunggakan perguliran semakin banyak. Peluang terjadinya penyalahgunaan dana semakin besar. Hal ini nampak pada sebagian besar UPK, terutama yang berumur 3 tahun keatas. Sehingga pada beberapa tahun terakhir, menjelang phase out, muncul pertanyaan besar dari banyak pelaku PNPM Mandiri Perdesaan; Quo Vadis UPK? Mau dibawa kemana UPK?

Berangkat dari pertanyaan diatas dan tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, saya mencoba melihat dari sisi manajerial UPK dengan merunut kebelakang sejarah perkembangan UPK.

UPK lahir seiring dengan lahirnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pada tahun 1998. Saat itu ada tiga kecamatan di tiga kabupaten (termasuk Sukoharjo) yang menjadi pilot project-nya.UPK saat itu merupakan kepanjangan dari Unit Pengelola Keuangan. Desain awalnya adalah sebagai lembaga penyalur dana program. Dana yang disalurkan adalah dana Bantuan Langsung Masyarakat, salah satunya untuk Simpan Pinjam Kelompok, baik UEP maupun SPP.

Seiring dengan berjalannya waktu, berbeda dengan program lain sebelumnya, dana Simpan Pinjam ini ternyata bisa kembali dan terus bergulir. Perkembangan ini kemungkinan besar tidak diprediksi sebelumnya oleh perancang program. Sehingga tidak heran bila kemudian muncul lembaga - lembaga untuk menunjang kebutuhan UPK. BP (Badan Pengawas) UPK baru muncul sebagai jawaban perlunya pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja UPK. BKAD muncul sebagai jawaban perlunya payung hukum terhadap pelaksanaan kegiatan ke-UPK-an. Tim Verifikasi Perguliran muncul sebagai jawaban perlunya lembaga independen (diluar UPK) untuk melakukan verifikasi pengajuan perguliran. Hal ini meyakinkan saya akan satu hal; kelembagaan UPK tidak by design.

Kini UPK menjadi Unit Pengelola Kegiatan. Dengan demikian UPK mampu lebih bergerak bebas dalam kegiatan perguliran dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini telah diupayakan menjadi roh UPK sejak awal PPK tahun 1998. Meskipun kini oleh rezim SBY dirubah menjadi PNPM Mandiri Perdesaan, dibawah payung besar Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. (Penting untuk saya sampaikan disini agar tidak muncul lagi bias - bias politik dalam pelaksanaan program ini). Banyak kegiatan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh UPK secara mandiri (diluar keprograman) melalui dana operasional UPK maupun surplus setiap akhir tahunnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh UPK semakin berkembang. Cakupan program semakin meluas. Rentang daya jangkau (aksesibilitas) pelayanan terhadap kelompok binaan semakin besar. Namun struktur organisasi/ kepengurusan UPK masih ajeg. Meskipun kini muncul lembaga pendukung UPK, mulai dari BKAD, BP UPK hingga Tim Verifikasi Perguliran dan Tim Penyehatan Pinjaman. Kepengurusan organisasi UPK itu sendiri masih sama dengan saat lahirnya UPK pada tahun 1998 (ketua, sekretaris dan bendahara). Padahal struktur organisasi ini muncul karena kebutuhan UPK sebagai penyalur dana, sebagai persayaratan bahwa perlu ada penanggungjawab/ wakil lembaga (ketua), perlu ada administrator (sekretaris) dan pengelola keuangan (bendahara). Penambahan pengurus (Staff UPK) juga belum menjawab tantangan yang dihadapi. Bahkan di beberapa UPK, staff UPK menjadi staff pemberdayaan. Menurut saya hal ini justru memisahkan (dan menjauhkan) roh pemberdayaan dari UPK. Ini yang saya sebut dengan paradoks UPK.

Petunjuk Teknis Operasional (PTO) memang mengatur sistem kelembagaan UPK. Perubahan telah berkali - kali dilakukan terhadap PTO. Perubahan ini tentunya menjawab perkembangan di lapangan. Namun PTO lupa bahwa tujuan dari program ini salah satunya adalah melembagakan pengelolaan dana bergulir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dan salah satu hal yang menjadi ciri dari pemberdayaan masyarakat adalah proses. Demikian pula dengan perkembangan kelembagaan UPK yang telah banyak mengalami proses pendewasaan lembaga. PTO seharusnya mampu menjawab ini. Sehingga pertanyaan besar diatas (Mau Dibawa Kemana UPK?) perlahan akan terjawab.

Kembali melihat sejarah perkembangan kelembagaan UPK diatas, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman dalam pergerakan ke-UPK-an kedepan. Pertama adalah bahwa UPK lahir tidak by design. Sehingga jangan terlalu banyak berharap kepada perancang program akan masa depan kelembagaan UPK. Kedua, perkembangan regulasi (PTO) adaptif terhadap kondisi praktikal di lapangan. Artinya bahwa perancang regulasi akan melihat perkembangan kelembagaan UPK sebagai dasar penyusunan regulasi (PTO). Dan ketiga, terbukti bahwa UPK (dan lembaga pendukung lainnya) mampu menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri gagah ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya.

UPK Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri lahir pada tahun 2008, seiring dengan masuknya PNPM Mandiri Perdesaan di Ngadirojo. Berjalan kurang lebih 3 tahun, UPK Ngadirojo merasakan hal yang sama. Cakupan kerja meluas, namun tidak diimbangi dengan pola manajemen kerja yang baik. Berdasarkan beberapa analisa diatas, muncul keberanian untuk melakukan terobosan baru. Diawali oleh diskusi non formal antar stakeholder, muncullah sebuah kesimpulan bahawa struktur kelembagaan UPK sudah basi. Kesimpulan ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk melakukan perubahan struktur kelembagaan UPK di Ngadirojo.

Pada tanggal 1 Maret 2012, dilaksanakan rapat kerja UPK Ngadirojo. Diawali dari repotitioning UPK dengan cara mencari letak UPK diantara stakeholder-nya, baik aspek manfaat maupun aksesibilitas baik kemarin, kini atau nanti. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari jati diri UPK di tengah-tengah stakeholder-nya, dengan mempertimbangkan aspek kesejarahan dan keprograman serta kondisi faktual di lapangan. Dari pembahasan tersebut muncul kesimpulan awal bahwa peran dan fungsi UPK adalah sebagai lembaga penyalur dana dan lembaga pemberdayaan masyarakat di tingkat kecamatan.

Selanjutnya berdasarkan peran dan fungsi UPK serta aspek manfaat maupun aksesibilitas terhadap stakeholder-nya, disusunlah SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) UPK yang baru. Intinya adalah  penyusunan pola/ sistem manajerial kelembagaan. Atau bahasa sederhananya adalah pembagian wilayah kerja. Secara partisipatif hal ini dilakukan dengan cara mendata cakupan kerja UPK selama 1 tahun kemarin dan program kerja UPK setahun kedepan. Dari data tersebut kemudian mampu dipetakan secara bersama, poin - poin kerja mana yang bisa dijadikan dalam satu wilayah. Hasil dari pengelompokan wilayah kerja tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian untuk kemudian dirumuskan dalam SOTK baru.

Struktur Organisasi dan Tata Kerja yang baru membagi kepengurusan menjadi empat divisi. Divisi Perguliran, Divisi Program, Divisi Operasional Harian dan Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia. Masing - masing divisi memiliki wilayah kerja sesuai dengan penamaan divisinya. Divisi perguliran bertanggungjawab terhadap proses perguliran sesuai dengan SOP yang telah disepakati dalam MAD. Operasional Harian bertanggungjawab terhadap proses keluar masuknya uang dan surat menyurat, serta urusan ke-rumahtangga-an. Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia mempunyai cakupan wilayah kerja meliputi pelatihan kelompok masyarakat, penyaluran surplus, pendampingan kelompok dan jaringan kerja UPK dengan kelompok masyarakat sebagai target group-nya. Divisi Program mencakup urusan keprograman; antara lain pencairan dana program dan menunjang setiap tahapan dalam PNPM Mandiri Perdesaan yang berlangsung secara reguler. Ketua UPK menjadi Manager, yang berfungsi sebagai controller. Rapat mingguan menjadi sarana evaluasi pelaksanaannya.

Struktur lama tetap dipertahankan untuk mengakomodasi kepentingan pencairan dana. Untuk menyelaraskan dengan SK Bupati dan syarat administratif lainnya. SOTK yang baru adalah upaya manajerial secara internal. Pembagian divisi diharapkan mampu memaksimalkan kinerja UPK. Hal ini dimungkinkan karena setiap divisi mampu fokus terhadap cakupan wilayah kerjanya masing-masing, tanpa harus melunturkan roh pemberdayaan masyarakat.

Poin yang penting disini adalah bahwa UPK (dan lembaga pendukung lainnya) mampu menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri gagah ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya. Kemandirian UPK berawal dari UPK itu sendiri. Menunggu regulasi baru yang mengatur kejelasan kelembagaan UPK tanpa merubah paradigma UPK dan melakukan pergerakan sama saja dengan menunggu godot. Sistem yang coba dibangun disini tentulah bukan sistem yang sempurna. Tetapi setidaknya sudah ada yang berani mencoba. Semoga bisa menjadi trigger. Sudah saatnya UPK bergerak mandiri, karena masa depan UPK ada ditangan UPK sendiri.


Catatan:
1. Kesejarahan UPK dan PNPM Mandiri Perdesaan didapatkan dari mantan faskab yang telah mengabdikan dirinya pada pemberdayaan masyarakat jauh sebelum ada PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan, meski tidak ada penghargaan dari beberapa pihak terhadap pengabdian beliau.
2. UPK Kecamatan Ngadirojo mampu merumuskan secara mandiri dan partisipatif lebih dikarenakan komitmen dan kapabilitas yang luar biasa dari pengurusnya. Terimakasih untuk Bayu, Fitri, Yulia, Jalu dan Wiji.