Selasa, 13 Maret 2012

ALVIN TOFFLER, PPDI DAN THE POWER OF KNOWLEDGE

Penyampaian Materi The Power Of Knowledge pada Pelatihan KPMD Ngadirojo 2011

Beberapa minggu yang lalu, dalam diskusi kecil di Wonogiri dengan beberapa pengurus PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), sempat tercetus oleh Widhi Hartono perihal tingginya biaya politik di negeri ini. Mulai dari pilpres hingga pilkades, dominasi uang sangat luar biasa. Dampaknya adalah kualitas pemimpin terpilih tak lagi bisa diukur dari kapabilitas kepemimpinannya. Peluang untuk korupsi sebagai konsekuensi untuk balik modal juga semakin besar. PPDI beranggapan bahwa high cost politics semakin menjerumuskan masyarakat perdesaan dalam keterpurukan. Untuk itu PPDI berjuang untuk menghilangkan high cost politics tersebut. Dalam diskusi tersebut saya mencoba menjelaskan teori Alvin Toffler dalam Powershift. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk sedikit mereview perihal teori Toffler tersebut dengan beberapa contoh aplikatif dalam ranah perdesaan. Teori inipun telah saya sisipkan dalam materi pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa se-Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri di awal tahun 2011.


Alvin Toffler adalah seorang penulis kelas dunia yang mendapat penobatan sebagai "Sang Futurist", orang yang menggambarkan masa depan (banyak yang menyebutnya, meramalkan masa depan) dengan cukup akurat. Alvin Toffler yang lahir 4 Oktober 1928 di New York, AS, mulai diakui sebagai futurist setelah meluncurkan bukunya yang populer Future Shock pada tahun 1970. Hingga saat ini Alvin Toffler telah menulis delapan buku. Yaitu Future Shock (1970),The Eco-Spasm Report (1975), The Third Wave (1980), Previews & Premises (1983), The Adaptive Corporation (1985), Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century (1990), War and Anti-War (1995), Revolutionary Wealth (2006). Ramalan tentang masa depan dunia ini tentunya tidak didapatkan dari penerawangan layaknya paranormal Indonesia, tetapi melalui analisa mendalam dengan menggunakan pengetahuan dan logika.

Dalam bukunya Power Shift : Knowledge, Wealth, and Violence of the 21st Century, Toffler menjelaskan bahwa umat manusia sejak awal peradabannya mengenal adanya tiga sumber kekuasaan, yaitu kekerasan (kekuatan fisik), kekayaan (uang), dan pengetahuan, tetapi dengan komposisi yang berlainan. Kekuatan dalam masyarakat adalah relasi dari ketiganya tersebut.

Sumber kekuasaan yang pertama adalah kekerasan/ kekuatan fisik/ Violence. Kekerasan atau ancaman kekerasan menghasilkan kualitas kekuasan yang rendah, karena hanya didasarkan pada kemampuannya untuk memberi hukuman.Pemilihan kepala suku di jaman dahulu sangat mempertimbangkan hal ini. Tampilan fisik dan kekuatan menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan kepala suku. Kekuasaan dipengaruhi secara dominan oleh hal ini. Perang Dunia I dan II merupakan perwujudan dari dominasi kekuatan kekerasan.  Dalam kasus Indonesia, Orde baru dapat dipandang sebagai kekuasaan yang menggunakan kekuasaan fisik (dwifungsi ABRI) untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya yang ada. Hingga di akhir orde baru, banyak individu atau kelompok yang berhasil mendominasi kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan fisik sebagai modal utamanya. PDI Perjuangan adalah contoh nyata. Sopo wani mesthi dadi. Hampir disetiap cabang dari PDI Perjuangan didominasi oleh orang - orang yang berani, sehingga kapabilitas dan kemampuan politik yang rendah menjadi salah satu konsekuensinya. Demikian pula dalam pemilihan kepala desa, dengan kedok reformasi, banyak bermunculan tokoh - tokoh baru di desa yang mulai mendominasi desa dengan modal/ sumber kekuasaan kekerasan.

Sumber kekuasaan yang kedua adalah kekayaan/ uang/ wealth. Kekayaan dapat menjadi alat kekuasaan yang lebih baik, karena disamping dapat dipergunakan untuk menghukum, kekayaan dapat dipergunakan untuk memberi hadiah. Orde reformasi menggunakan kekayaan untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya politik yang sedang mengalami pergeseran. Itulah sebabnya, meskipun rakyat sedang dalam cengkeraman kemiskinan, panggung politik mencitrakan berhamburan dengan uang. Tanpa pencitraan seperti itu, panggung yang digelar akan menjadi sepi. Banyaknya pengusaha yang menjadi penguasa adalah konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai Jusuf Kalla, Ical Bakrie hingga Jokowi. Demikian pula pada pemilihan kepala desa. Operasi Fajar menjelang pilkades hingga kini masih mendominasi. Korupsi menjadi konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai dari tingkat pusat hingga kedesa. Hal ini sejalan dengan neo liberalisasi/ fundamentalisme pasar yang mulai masuk dan merasuk dalam segala sendi kehidupan. Segalanya diukur dengan uang. Sehingga biaya untuk berpolitik menjadi sangat mahal. Inilah yang disebut dengan high cost politic, politik biaya tinggi.

Sumber kekuasaan yang paling berkualitas adalah yang ketiga, sumber kekuasaan yang berasal dari penggunaan pengetahuan/ informasi/ kowledge. Dalam pandangan Alvin Toffler tentang perubahan yang terjadi dalam struktur kekuasaan yang mengendalikan dunia sekarang ini, sejak semula bangsa manusia telah menggunakan tiga sumberdaya dalam membangun kekuasaannya, yaitu kekerasan, kekayaan, dan pengetahuan. Akan tetapi baru sekaranglah pengetahuan memiliki peranan dan posisi sentral dalam konsolidasi kekuasaan. Di satu sisi pengetahuan akan dapat menggandakan kekerasan dan kekayaan, di sisi lain pengetahuan juga dapat dimanfaatkan untuk mengefisienkan penggunaan sumber kekuasaan. Menurut Alvin Toffler, sekarang ini kita sedang berada dalam momentum dimana struktur kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dunia sedang mengalami disintegrasi dan suatu struktur kekuasaan yang sama sekali berbeda sedang mengambil bentuknya. Struktur kekuasaan baru, yang ditandai oleh peranan sentral pengetahuan itu, kini sedang muncul pada semua tingkat kehidupan masyarakat bangsa manusia. Pergeseran sumber kekuasaan nampak pada beberapa pendekatan kekuasaan. Penggunaan dialog, penjaringan aspirasi serta jajak pendapat menjadi metode baru dalam perumusan kebijakan. Mulai berkurangnya dominasi uang dalam beberapa pilkada dan pilkades menjadi tolok ukur dari perubahan ini. Kini mulai bermunculan toloh - tokoh baru yang lebih kapabel, karena memang pengetahuan-lah yang menjadi modalnya. Banyak Kepala Desa baru yang muncul tanpa harus banyak mengeluarkan modal/ uang. Hal ini dikarenakan pengetahuan menciptakan efisiensi, melakukan kalkulasi, membujuk dan mengubah lawan menjadi sekutu. Inilah yang disebut sebagai kekuatan pengetahuan (the power of knowledge).

Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan (the power of knowledge) berbeda dengan pengetahuan dalam akademik. Contoh yang diberikan Soedaryanto (pergerakankebangsaan.org) adalah sebagai berikut; Jika seorang murid memperoleh pengetahuan dari sekolah bahwa di bawah pohon beringin itu tidak ada hantunya, dan ketika itu ditanyakan saat ujian maka murid itu menjadi bisa menjawabnya dengan benar, bahwa di bawah pohon beringin tidak ada hantunya. Tetapi sepulang ujian, dan jalan menuju rumah adalah melewati pohon beringin itu, si murid tetap saja tidak mau lewat pohon beringin itu dan mengambil jalan melingkar meski itu jarak tempuhnya lebih jauh. Ini adalah contoh bahwa pengetahuan belum menjadi kekuatan pengetahuan, karena ternyata pengetahuan tersebut tidak berujung pada tindakan kongkret si murid. Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan tidak hanya merubah secara teoritis saja, tetapi hingga pada tataran tindakan dan aplikasi hingga menjadi budaya baru yang didominasi oleh pengetahuan.

Saat ini kita telah memasuki era baru, era dimana informasi telah masuk ke ruang - ruang privat dan individu. Pada era inilah sebenarnya sumber kekuasaan berupa pengetahuan menjadi dominan. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan (power-shift). Maka bagi aktivis pergerakan ataupun politisi muda, pejuang pemberdayaan maupun siapapun yang bergerak dalam ranah kekuasaan, perlu untuk menjadikan kekuatan pengetahuan sebagai sumber daya kekuasaan. Selain untuk menekan high cost politics, kekuatan pengetahuan menurut saya justru akan meningkatkan kualitas dan derajat kemanusiaan kita. Dengan meyakinkan diri masing - masing, perubahan tak lama lagi akan terwujud. Sejarah tidak akan menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk saran bahkan cacian...