Kamis, 16 Agustus 2012

PANJI CAYAPATA SILADRI




Setelah penantian yang cukup panjang, lahir sudah seorang anak lelaki dari rahim istriku tercinta, Dessy Cahyo Respati. Lahir pada jam 07.00 hari Kamis Wage, 14 Juni 2012, 24 Rejeb, shio naga air, berbintang Gemini. Dia anakku. Panji Cayapata Siladri.

Panji (sanskrit) artinya pemimpin, tanda kebesaran. Cayapata (kawi) artinya gugusan bintang. Simbol dari pengayoman dan kelembutan. Siladri (kawi) artinya gunung batu, halilintar. Simbol dari keteguhan dan ketegasan. Panji Cayapata Siladri, orangtuanya berharap kelak ia akan menjadi pemimpin yang mengayomi, berjiwa lembut, teguh berpendirian dan tegas dalam mengambil keputusan.


NAGA AIR
Berdasarkan hitungan kalender China, tahun ini merupakan tahunnya Naga Air, tepatnya dari 4 Februari 2012 hingga 3 Februari 2013. Karena air adalah simbol intelegensi, maka anak-anak yang lahir di tahun Naga Air dipercaya akan menjadi anak pandai. Karakter lainnya adalah berkemauan kuat, berjiwa kepemimpinan, mudah bergaul, menyenangkan dan penuh percaya diri. Namun bayi Naga Air bisa juga berarti sulit dikontrol, temperamental, susah diam dan sulit ditebak.

Shio Naga Air adalah sosok pribadi yang paling rendah hati dan tidak angkuh dibandingkan Shio Naga unsur lainnya. Ia mampu mengenyampingkan egonya dan tidak suka melawan. Shio Naga Air amat “jinak”, tetapi progresif. Ia tidak bisa tampil menyolok seperti Shio Naga unsur lainnya. Ia lebih suka menunggu sambil mengamati (wait and see). Akalnya sama hebat dengan kemauannya. Shio Naga Air kokoh pada dasar falsafahnya sendiri, tetapi tidak memiliki sifat pendendan kepada siapa pun, meski mereka yang berlainan pendapat. Ia demokratis dan berpandangan liberla. Ia sportif atau berlapang dada ketika menerima kekalahan atau sebuah bentuk penolakan. Shio Naga Air berlaku bijaksana dan hanya melakukan apa yang dianggapnya penting. Ia senang melihat pertumbuhan dan perluasan. Ia sosok yang gesit, dapat diandalkan, dan pandai mempromosikan ide-idenya. Ia dapat menjadi ahli runding yang sukses karena mampu bersikap tepat dan mengucapkan kata-kata yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi. Shio Naga Air sangat berpegang teguh pada pendirian yang kerap membuatnya kehilangan segalanya.

KAMIS WAGE
Bayi yang lahir pada hari Kamis Wage biasanya memiliki cita-cita setinggi langit. Tentu saja, terkadang harapan mereka terlalu tinggi, tetapi mereka juga berpegang pada aturan dan dapat cukup berhati-hati dalam mewujudkan tujuan mereka sehingga seringkali tercapai. Bayi ini kelak mungkin saja pandai, tetapi dia sering terpaku pada jalan mereka dan biasanya tidak menghargai saran yang tidak mereka inginkan. Meskipun demikian, ia akan dapat cukup mempesona orang lain dengan sopan-santunnya dan cenderung tampil baik dalam pergaulan. 

GEMINI
Gemini adalah simbol kecerdasan, memiliki banyak akal. Komunikasi dan bahasa sangat penting bagi mereka. Mereka memiliki kemampuan berkembang dan belajar yang tinggi. Umumnya para Gemini tidak stabil, reaksi terhadap situasi ditentukan oleh mood mereka. Bagi Gemini, keragaman adalah penyedap kehidupan. Mereka menikmati hasil yang mereka capai lewat kerja keras mereka sendiri. Gemini tidak menyukai rutinitas. Pengetahuan, pikiran yang cepat dan kepandaian jelas terlihat pada zodiak ini. Mereka mudah berubah-ubah. Simbol ini memiliki pesona alami dan energi karisma yang menarik semua zodiak. Mereka memiliki banyak ide yang dapat membuat kita tertarik, namun mereka cenderung cepat bosan jika mereka berada di sekitar orang yang tidak dapat mengikuti jalan pikiran mereka, dana cepat berpindah ke suatu tempat dimana orang di sekitarnya dapat mengikuti jalan pikiran mereka. Mereka biasa menikmati hidup mereka dan jarang melihat kembali kebelakang. Gemini dikenal dengan spontanitasnya dan kemampuan mereka berbicara mengenai segala hal. Mereka energik dan murah hati.

PANCASILA
PANji CAyapata SILAdri is my legacy. Warisanku pada dunia, kepada Indonesia. Mengapa Pancasila? Saya tak mau panjang lebar jelaskan disini. Seperti sebagian besar rakyat Indonesia saat ini yang meyakini Pancasila sebagai dasar negara, sekaligus bintang penuntun bagi kejayaan bangsanya, demikian pula saya.



Beberapa sumber:
http://magicalsoul.wordpress.com/shio-naga-2/
http://www.parenting.co.id/article/bayi/bayi.naga.air.mengapa.istimewa/001/002/185
http://e-kehamilan.blogspot.com/2008/09/kepribadian-bayi-dan-anak-yang-lahir_7873.html
http://www.untukku.com/artikel-untukku/karakter-zodial-gemini-si-kembar-21-mei-juni-21-untukku.html

Sabtu, 07 April 2012

HE'S MY BROTHER


Pada tanggal 26 Maret 2012 Asteya Graha sukses menggelar Recital kelulusan dari Institut Musik Daya Indonesia, bertempat di Teater Salihara Pasar Minggu Jakarta Selatan. Minimnya catatan tertulis tentang Asteya Graha mendorong saya untuk mencatat kembali sedikit perjalanan bermusiknya. Menyesal tak bisa hadir dalam recital kelulusannya. Berikut beberapa kutipan yang saya ambil dari booklet recital-nya, dengan sedikit editing.

Asteya Graha lahir di Surakarta, 21 April 1982. Asteya mulai aktif bermusik sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, dengan aktif bermain instrumen Marching Bell di dalam Marching Band Taman Kanak-Kanak. Pada usia 8 tahun Asteya belajar Keyboard secara otodidak yang lalu dilanjuti dengan kursus Electone di Tamaha pada usia 12 tahun, dan mulai belajar Gitar dengan kakaknya yang juga didalaminya secara otodidak.

Pada tahun 2003 Asteya mulai belajar Gitar dengan Koko Harsoe dan pada tahun berikutnya belajar Gitar Klasik di Yamaha. Juga pada saat bersamaan Asteya membentuk Trio Selasa Kliwon ( Gitar, Ketipung dan Ukulele ). Asteya dengan Trio Selasa Kliwon pentas dalam beberapa pargelaran, seperti Teater Perempuan se-Bali pada tahun 2005, Musik Kontemporer di Art Centre Denpasar dan Ubud Writers & Readers juga ditahun yang sama.

Pada tahun 2006 Asteya ikut berpartisipasi dalam The New Generation Mezzo Jazz Award, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Luluk Purwanto dan Rene Van Helsdingen. Pada tahun 2007 Asteya mulai belajar di Institut Musik Daya Indonesia dengan Instrumen Major Gitar dibawah bimbingan Nikita Jeffrey Dompas, Dionysius Aria Janapria dan Ganggeng Yudana.

Asteya juga telah mengikuti beberapa workshop yang dibawakan oleh musisi – musisi internasional dan Indonesia, seperti: Maurice Rugebregt, John Hondrop, Nial Djuliarso, Masako Hamamura, Iwan Tanzil, Iwan Hasan, Boi Akih, Nikita Jeffrey Dompas, Julian Abraham Marantika, Titi Handayani Sjuman, Yudo Nugroho Doni Sundjoyo, Sandy Winarta, Philippe Ciminato, Dionysius Aria Janapria, Veronica Nunn, Tjut Nyak Deviana Daudsjah, Mike Del Ferro, Karoline Hofler dan Beatrice Graf.

Sejak tahun 2009 Asteya aktif mengajar Gitar Pop di Yamaha Music School. Pada tahun 2011 sempat bergabung dalam Kwartet Kamar Pitu. Dedikasinya dalam Pendidikan Musik mengantarkannya untuk terlibat dalam program standarisasi pendidikan musik Indonesia dan kini Asteya menjadi sekretaris Lembaga Sertifikasi Kompetensi Musik Nasional. Juga menjadi anggota dari Tim Nasional yang menyusun handbook untuk pelajaran musik yang difasilitasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Seperti yang dikatakan oleh Plato 500 tahun sebelum Masehi: Music is the most important part of Education. Indonesia membutuhkan banyak pekerja seni muda dan pendidik yang berdedikasi, kreatif, bertanggungjawab dan mempunyai komitmen. Pada saat yang bersamaan Asteya Graha telah memulai upayanya mengubah arah Pendidikan Pertunjukan Musik di Indonesia.

Lampaui mimpimu!!!

Kamis, 15 Maret 2012

MUSYAWARAH ANGGOTA DEWAN (MAD) NGADIROJO, BERJUANG BERSAMA UNTUK RAKYAT PERDESAAN

Ahmad Zarif (memegang mik) ikut dalam pembahasan SOP Perguliran pada MAD Ngadirojo

“Dalam musyawarah, wakil – wakil yang hadir harus mempunyai komitmen yang sama, satu persepsi, satu tujuan yaitu untuk kemajuan Ngadirojo, bukan untuk kepentingan masing – masing desa atau kelurahan semata-mata.” Demikian disampaikan oleh Ahmad Zarif, anggota DPRD Wonogiri yang berasal dari desa Kerjo Lor Kecamatan Ngadirojo dalam pembahasan SOP Perguliran pada Musyawarah Antar Desa Pertanggungjawaban, Perencanaan dan Sosialisasi yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 30 Januari 2012 di Pendapa Kantor Kecamatan Ngadirojo.

Musyawarah Antar Desa (MAD) merupakan kegiatan yang dilaksanakan minimal 3 kali dalam satu tahun anggaran, sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Tujuan dari MAD kali ini adalah sebagai forum pertanggungjawaban serta perencanaan bagi UPK dan Sosialisasi pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan tahun anggaran 2012. Sebagai persiapan dan pelaksanaannya, dibentuklah kepanitiaan yang diambil dari unsur Kader Pemberdayaan Desa/ Kelurahan (KPMD/K). Tujuan dari pembentukan panitia MAD selain untuk mempermudah pengelolaan kegiatan juga untuk melibatkan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di tingkat desa secara partisipatif dalam pelaksanaan MAD.

Dihadiri oleh kurang lebih 70 peserta, acara dimulai pada pukul 09.00 WIB oleh Camat Ngadirojo, Drs. M. Ainur Ridho, dan ditutup pada pukul 15.00 oleh Haribowo Giri Wahyudi, SH selaku PJOK. Selain SOP Perguliran, hasil MAD Pertanggungjawaban, Perencanaan dan Sosialisasi antara lain adalah sosialisasi perolehan dana kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2012 sebesar 1,25 Milyar Rupiah dan penetapan alokasi surplus UPK untuk RTM sebesar Rp 111.460.000,- dari total surplus Rp 401.336.998,-. Penggunaan surplus UPK untuk RTM antara lain digunakan untuk Lantainisasi, Jambanisasi dan Bantuan Alat Penunjang Usaha.

Peserta MAD nampak antusias dan partisipatif dalam mengikuti acara demi acara. Terutama pada saat pembahasan Standar Operasional Prosedur Perguliran, sebuah aturan yang disepakati di tingkat kecamatan untuk melandasi pelaksanaan perguliran dana yang dikelola oleh UPK. Kehadiran anggota DPRD Wonogiri, Ahmad Zarif, mampu memberi warna dalam pembahasan SOP tersebut. Beberapa saran dan pendapat dari Zarif menjadi masukan penting bagi SOP Perguliran. 

Berbeda dengan anggota DPRD lainnya yang hadir saat pembukaan dan pulang sebelum dimulainya pembahasan, Zarif justru duduk bersama peserta MAD dan ikut dalam pembahasan SOP Perguliran. Hal ini merupakan perwujudan keterbukaan dalam MAD, dimana tidak hanya wakil – wakil desa yang berhak mengikuti MAD tetapi juga pihak luar pun berhak ikut dalam MAD, selain sebagai wujud keberpihakan DPRD terhadap pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan secara langsung. Sebuah langkah awal yang baik bagi kerjasama antar stakeholder PNPM Mandiri Perdesaan, demi kepentingan rakyat perdesaan. Bukankah anggota DPRD dipilih oleh rakyat juga?

*ditulis oleh Jalu Asmoro, Pengurus UPK Ngadirojo



Selasa, 13 Maret 2012

ALVIN TOFFLER, PPDI DAN THE POWER OF KNOWLEDGE

Penyampaian Materi The Power Of Knowledge pada Pelatihan KPMD Ngadirojo 2011

Beberapa minggu yang lalu, dalam diskusi kecil di Wonogiri dengan beberapa pengurus PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), sempat tercetus oleh Widhi Hartono perihal tingginya biaya politik di negeri ini. Mulai dari pilpres hingga pilkades, dominasi uang sangat luar biasa. Dampaknya adalah kualitas pemimpin terpilih tak lagi bisa diukur dari kapabilitas kepemimpinannya. Peluang untuk korupsi sebagai konsekuensi untuk balik modal juga semakin besar. PPDI beranggapan bahwa high cost politics semakin menjerumuskan masyarakat perdesaan dalam keterpurukan. Untuk itu PPDI berjuang untuk menghilangkan high cost politics tersebut. Dalam diskusi tersebut saya mencoba menjelaskan teori Alvin Toffler dalam Powershift. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk sedikit mereview perihal teori Toffler tersebut dengan beberapa contoh aplikatif dalam ranah perdesaan. Teori inipun telah saya sisipkan dalam materi pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa se-Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri di awal tahun 2011.


Alvin Toffler adalah seorang penulis kelas dunia yang mendapat penobatan sebagai "Sang Futurist", orang yang menggambarkan masa depan (banyak yang menyebutnya, meramalkan masa depan) dengan cukup akurat. Alvin Toffler yang lahir 4 Oktober 1928 di New York, AS, mulai diakui sebagai futurist setelah meluncurkan bukunya yang populer Future Shock pada tahun 1970. Hingga saat ini Alvin Toffler telah menulis delapan buku. Yaitu Future Shock (1970),The Eco-Spasm Report (1975), The Third Wave (1980), Previews & Premises (1983), The Adaptive Corporation (1985), Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21st Century (1990), War and Anti-War (1995), Revolutionary Wealth (2006). Ramalan tentang masa depan dunia ini tentunya tidak didapatkan dari penerawangan layaknya paranormal Indonesia, tetapi melalui analisa mendalam dengan menggunakan pengetahuan dan logika.

Dalam bukunya Power Shift : Knowledge, Wealth, and Violence of the 21st Century, Toffler menjelaskan bahwa umat manusia sejak awal peradabannya mengenal adanya tiga sumber kekuasaan, yaitu kekerasan (kekuatan fisik), kekayaan (uang), dan pengetahuan, tetapi dengan komposisi yang berlainan. Kekuatan dalam masyarakat adalah relasi dari ketiganya tersebut.

Sumber kekuasaan yang pertama adalah kekerasan/ kekuatan fisik/ Violence. Kekerasan atau ancaman kekerasan menghasilkan kualitas kekuasan yang rendah, karena hanya didasarkan pada kemampuannya untuk memberi hukuman.Pemilihan kepala suku di jaman dahulu sangat mempertimbangkan hal ini. Tampilan fisik dan kekuatan menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan kepala suku. Kekuasaan dipengaruhi secara dominan oleh hal ini. Perang Dunia I dan II merupakan perwujudan dari dominasi kekuatan kekerasan.  Dalam kasus Indonesia, Orde baru dapat dipandang sebagai kekuasaan yang menggunakan kekuasaan fisik (dwifungsi ABRI) untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya yang ada. Hingga di akhir orde baru, banyak individu atau kelompok yang berhasil mendominasi kekuasaan dengan kekerasan dan kekuatan fisik sebagai modal utamanya. PDI Perjuangan adalah contoh nyata. Sopo wani mesthi dadi. Hampir disetiap cabang dari PDI Perjuangan didominasi oleh orang - orang yang berani, sehingga kapabilitas dan kemampuan politik yang rendah menjadi salah satu konsekuensinya. Demikian pula dalam pemilihan kepala desa, dengan kedok reformasi, banyak bermunculan tokoh - tokoh baru di desa yang mulai mendominasi desa dengan modal/ sumber kekuasaan kekerasan.

Sumber kekuasaan yang kedua adalah kekayaan/ uang/ wealth. Kekayaan dapat menjadi alat kekuasaan yang lebih baik, karena disamping dapat dipergunakan untuk menghukum, kekayaan dapat dipergunakan untuk memberi hadiah. Orde reformasi menggunakan kekayaan untuk mengintegrasikan dan mengendalikan sumber daya politik yang sedang mengalami pergeseran. Itulah sebabnya, meskipun rakyat sedang dalam cengkeraman kemiskinan, panggung politik mencitrakan berhamburan dengan uang. Tanpa pencitraan seperti itu, panggung yang digelar akan menjadi sepi. Banyaknya pengusaha yang menjadi penguasa adalah konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai Jusuf Kalla, Ical Bakrie hingga Jokowi. Demikian pula pada pemilihan kepala desa. Operasi Fajar menjelang pilkades hingga kini masih mendominasi. Korupsi menjadi konsekuensi dari dominasi uang dalam kekuasaan. Mulai dari tingkat pusat hingga kedesa. Hal ini sejalan dengan neo liberalisasi/ fundamentalisme pasar yang mulai masuk dan merasuk dalam segala sendi kehidupan. Segalanya diukur dengan uang. Sehingga biaya untuk berpolitik menjadi sangat mahal. Inilah yang disebut dengan high cost politic, politik biaya tinggi.

Sumber kekuasaan yang paling berkualitas adalah yang ketiga, sumber kekuasaan yang berasal dari penggunaan pengetahuan/ informasi/ kowledge. Dalam pandangan Alvin Toffler tentang perubahan yang terjadi dalam struktur kekuasaan yang mengendalikan dunia sekarang ini, sejak semula bangsa manusia telah menggunakan tiga sumberdaya dalam membangun kekuasaannya, yaitu kekerasan, kekayaan, dan pengetahuan. Akan tetapi baru sekaranglah pengetahuan memiliki peranan dan posisi sentral dalam konsolidasi kekuasaan. Di satu sisi pengetahuan akan dapat menggandakan kekerasan dan kekayaan, di sisi lain pengetahuan juga dapat dimanfaatkan untuk mengefisienkan penggunaan sumber kekuasaan. Menurut Alvin Toffler, sekarang ini kita sedang berada dalam momentum dimana struktur kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dunia sedang mengalami disintegrasi dan suatu struktur kekuasaan yang sama sekali berbeda sedang mengambil bentuknya. Struktur kekuasaan baru, yang ditandai oleh peranan sentral pengetahuan itu, kini sedang muncul pada semua tingkat kehidupan masyarakat bangsa manusia. Pergeseran sumber kekuasaan nampak pada beberapa pendekatan kekuasaan. Penggunaan dialog, penjaringan aspirasi serta jajak pendapat menjadi metode baru dalam perumusan kebijakan. Mulai berkurangnya dominasi uang dalam beberapa pilkada dan pilkades menjadi tolok ukur dari perubahan ini. Kini mulai bermunculan toloh - tokoh baru yang lebih kapabel, karena memang pengetahuan-lah yang menjadi modalnya. Banyak Kepala Desa baru yang muncul tanpa harus banyak mengeluarkan modal/ uang. Hal ini dikarenakan pengetahuan menciptakan efisiensi, melakukan kalkulasi, membujuk dan mengubah lawan menjadi sekutu. Inilah yang disebut sebagai kekuatan pengetahuan (the power of knowledge).

Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan (the power of knowledge) berbeda dengan pengetahuan dalam akademik. Contoh yang diberikan Soedaryanto (pergerakankebangsaan.org) adalah sebagai berikut; Jika seorang murid memperoleh pengetahuan dari sekolah bahwa di bawah pohon beringin itu tidak ada hantunya, dan ketika itu ditanyakan saat ujian maka murid itu menjadi bisa menjawabnya dengan benar, bahwa di bawah pohon beringin tidak ada hantunya. Tetapi sepulang ujian, dan jalan menuju rumah adalah melewati pohon beringin itu, si murid tetap saja tidak mau lewat pohon beringin itu dan mengambil jalan melingkar meski itu jarak tempuhnya lebih jauh. Ini adalah contoh bahwa pengetahuan belum menjadi kekuatan pengetahuan, karena ternyata pengetahuan tersebut tidak berujung pada tindakan kongkret si murid. Dalam ranah pergerakan, kekuatan pengetahuan tidak hanya merubah secara teoritis saja, tetapi hingga pada tataran tindakan dan aplikasi hingga menjadi budaya baru yang didominasi oleh pengetahuan.

Saat ini kita telah memasuki era baru, era dimana informasi telah masuk ke ruang - ruang privat dan individu. Pada era inilah sebenarnya sumber kekuasaan berupa pengetahuan menjadi dominan. Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan (power-shift). Maka bagi aktivis pergerakan ataupun politisi muda, pejuang pemberdayaan maupun siapapun yang bergerak dalam ranah kekuasaan, perlu untuk menjadikan kekuatan pengetahuan sebagai sumber daya kekuasaan. Selain untuk menekan high cost politics, kekuatan pengetahuan menurut saya justru akan meningkatkan kualitas dan derajat kemanusiaan kita. Dengan meyakinkan diri masing - masing, perubahan tak lama lagi akan terwujud. Sejarah tidak akan menunggu.

Jumat, 09 Maret 2012

STRUKTUR KELEMBAGAAN UPK SUDAH BASI !!!


Banyak keluhan dari kawan-kawan UPK perihal beban kerja mereka yang semakin berat. Belum lagi jika mulai bicara soal masa depan UPK secara kelembagaan. Dampak yang muncul semakin nyata. Kinerja UPK menurun. Tunggakan perguliran semakin banyak. Peluang terjadinya penyalahgunaan dana semakin besar. Hal ini nampak pada sebagian besar UPK, terutama yang berumur 3 tahun keatas. Sehingga pada beberapa tahun terakhir, menjelang phase out, muncul pertanyaan besar dari banyak pelaku PNPM Mandiri Perdesaan; Quo Vadis UPK? Mau dibawa kemana UPK?

Berangkat dari pertanyaan diatas dan tanpa bermaksud menyalahkan pihak manapun, saya mencoba melihat dari sisi manajerial UPK dengan merunut kebelakang sejarah perkembangan UPK.

UPK lahir seiring dengan lahirnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pada tahun 1998. Saat itu ada tiga kecamatan di tiga kabupaten (termasuk Sukoharjo) yang menjadi pilot project-nya.UPK saat itu merupakan kepanjangan dari Unit Pengelola Keuangan. Desain awalnya adalah sebagai lembaga penyalur dana program. Dana yang disalurkan adalah dana Bantuan Langsung Masyarakat, salah satunya untuk Simpan Pinjam Kelompok, baik UEP maupun SPP.

Seiring dengan berjalannya waktu, berbeda dengan program lain sebelumnya, dana Simpan Pinjam ini ternyata bisa kembali dan terus bergulir. Perkembangan ini kemungkinan besar tidak diprediksi sebelumnya oleh perancang program. Sehingga tidak heran bila kemudian muncul lembaga - lembaga untuk menunjang kebutuhan UPK. BP (Badan Pengawas) UPK baru muncul sebagai jawaban perlunya pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja UPK. BKAD muncul sebagai jawaban perlunya payung hukum terhadap pelaksanaan kegiatan ke-UPK-an. Tim Verifikasi Perguliran muncul sebagai jawaban perlunya lembaga independen (diluar UPK) untuk melakukan verifikasi pengajuan perguliran. Hal ini meyakinkan saya akan satu hal; kelembagaan UPK tidak by design.

Kini UPK menjadi Unit Pengelola Kegiatan. Dengan demikian UPK mampu lebih bergerak bebas dalam kegiatan perguliran dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini telah diupayakan menjadi roh UPK sejak awal PPK tahun 1998. Meskipun kini oleh rezim SBY dirubah menjadi PNPM Mandiri Perdesaan, dibawah payung besar Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. (Penting untuk saya sampaikan disini agar tidak muncul lagi bias - bias politik dalam pelaksanaan program ini). Banyak kegiatan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh UPK secara mandiri (diluar keprograman) melalui dana operasional UPK maupun surplus setiap akhir tahunnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh UPK semakin berkembang. Cakupan program semakin meluas. Rentang daya jangkau (aksesibilitas) pelayanan terhadap kelompok binaan semakin besar. Namun struktur organisasi/ kepengurusan UPK masih ajeg. Meskipun kini muncul lembaga pendukung UPK, mulai dari BKAD, BP UPK hingga Tim Verifikasi Perguliran dan Tim Penyehatan Pinjaman. Kepengurusan organisasi UPK itu sendiri masih sama dengan saat lahirnya UPK pada tahun 1998 (ketua, sekretaris dan bendahara). Padahal struktur organisasi ini muncul karena kebutuhan UPK sebagai penyalur dana, sebagai persayaratan bahwa perlu ada penanggungjawab/ wakil lembaga (ketua), perlu ada administrator (sekretaris) dan pengelola keuangan (bendahara). Penambahan pengurus (Staff UPK) juga belum menjawab tantangan yang dihadapi. Bahkan di beberapa UPK, staff UPK menjadi staff pemberdayaan. Menurut saya hal ini justru memisahkan (dan menjauhkan) roh pemberdayaan dari UPK. Ini yang saya sebut dengan paradoks UPK.

Petunjuk Teknis Operasional (PTO) memang mengatur sistem kelembagaan UPK. Perubahan telah berkali - kali dilakukan terhadap PTO. Perubahan ini tentunya menjawab perkembangan di lapangan. Namun PTO lupa bahwa tujuan dari program ini salah satunya adalah melembagakan pengelolaan dana bergulir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Dan salah satu hal yang menjadi ciri dari pemberdayaan masyarakat adalah proses. Demikian pula dengan perkembangan kelembagaan UPK yang telah banyak mengalami proses pendewasaan lembaga. PTO seharusnya mampu menjawab ini. Sehingga pertanyaan besar diatas (Mau Dibawa Kemana UPK?) perlahan akan terjawab.

Kembali melihat sejarah perkembangan kelembagaan UPK diatas, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman dalam pergerakan ke-UPK-an kedepan. Pertama adalah bahwa UPK lahir tidak by design. Sehingga jangan terlalu banyak berharap kepada perancang program akan masa depan kelembagaan UPK. Kedua, perkembangan regulasi (PTO) adaptif terhadap kondisi praktikal di lapangan. Artinya bahwa perancang regulasi akan melihat perkembangan kelembagaan UPK sebagai dasar penyusunan regulasi (PTO). Dan ketiga, terbukti bahwa UPK (dan lembaga pendukung lainnya) mampu menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri gagah ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya.

UPK Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri lahir pada tahun 2008, seiring dengan masuknya PNPM Mandiri Perdesaan di Ngadirojo. Berjalan kurang lebih 3 tahun, UPK Ngadirojo merasakan hal yang sama. Cakupan kerja meluas, namun tidak diimbangi dengan pola manajemen kerja yang baik. Berdasarkan beberapa analisa diatas, muncul keberanian untuk melakukan terobosan baru. Diawali oleh diskusi non formal antar stakeholder, muncullah sebuah kesimpulan bahawa struktur kelembagaan UPK sudah basi. Kesimpulan ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk melakukan perubahan struktur kelembagaan UPK di Ngadirojo.

Pada tanggal 1 Maret 2012, dilaksanakan rapat kerja UPK Ngadirojo. Diawali dari repotitioning UPK dengan cara mencari letak UPK diantara stakeholder-nya, baik aspek manfaat maupun aksesibilitas baik kemarin, kini atau nanti. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mencari jati diri UPK di tengah-tengah stakeholder-nya, dengan mempertimbangkan aspek kesejarahan dan keprograman serta kondisi faktual di lapangan. Dari pembahasan tersebut muncul kesimpulan awal bahwa peran dan fungsi UPK adalah sebagai lembaga penyalur dana dan lembaga pemberdayaan masyarakat di tingkat kecamatan.

Selanjutnya berdasarkan peran dan fungsi UPK serta aspek manfaat maupun aksesibilitas terhadap stakeholder-nya, disusunlah SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) UPK yang baru. Intinya adalah  penyusunan pola/ sistem manajerial kelembagaan. Atau bahasa sederhananya adalah pembagian wilayah kerja. Secara partisipatif hal ini dilakukan dengan cara mendata cakupan kerja UPK selama 1 tahun kemarin dan program kerja UPK setahun kedepan. Dari data tersebut kemudian mampu dipetakan secara bersama, poin - poin kerja mana yang bisa dijadikan dalam satu wilayah. Hasil dari pengelompokan wilayah kerja tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian untuk kemudian dirumuskan dalam SOTK baru.

Struktur Organisasi dan Tata Kerja yang baru membagi kepengurusan menjadi empat divisi. Divisi Perguliran, Divisi Program, Divisi Operasional Harian dan Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia. Masing - masing divisi memiliki wilayah kerja sesuai dengan penamaan divisinya. Divisi perguliran bertanggungjawab terhadap proses perguliran sesuai dengan SOP yang telah disepakati dalam MAD. Operasional Harian bertanggungjawab terhadap proses keluar masuknya uang dan surat menyurat, serta urusan ke-rumahtangga-an. Divisi Peningkatan Sumber Daya Manusia mempunyai cakupan wilayah kerja meliputi pelatihan kelompok masyarakat, penyaluran surplus, pendampingan kelompok dan jaringan kerja UPK dengan kelompok masyarakat sebagai target group-nya. Divisi Program mencakup urusan keprograman; antara lain pencairan dana program dan menunjang setiap tahapan dalam PNPM Mandiri Perdesaan yang berlangsung secara reguler. Ketua UPK menjadi Manager, yang berfungsi sebagai controller. Rapat mingguan menjadi sarana evaluasi pelaksanaannya.

Struktur lama tetap dipertahankan untuk mengakomodasi kepentingan pencairan dana. Untuk menyelaraskan dengan SK Bupati dan syarat administratif lainnya. SOTK yang baru adalah upaya manajerial secara internal. Pembagian divisi diharapkan mampu memaksimalkan kinerja UPK. Hal ini dimungkinkan karena setiap divisi mampu fokus terhadap cakupan wilayah kerjanya masing-masing, tanpa harus melunturkan roh pemberdayaan masyarakat.

Poin yang penting disini adalah bahwa UPK (dan lembaga pendukung lainnya) mampu menunjukkan bahwa tanpa desain yang jelas pun, UPK mampu berdiri gagah ditengah-tengah keterpurukan lembaga bentukan program lainnya. Kemandirian UPK berawal dari UPK itu sendiri. Menunggu regulasi baru yang mengatur kejelasan kelembagaan UPK tanpa merubah paradigma UPK dan melakukan pergerakan sama saja dengan menunggu godot. Sistem yang coba dibangun disini tentulah bukan sistem yang sempurna. Tetapi setidaknya sudah ada yang berani mencoba. Semoga bisa menjadi trigger. Sudah saatnya UPK bergerak mandiri, karena masa depan UPK ada ditangan UPK sendiri.


Catatan:
1. Kesejarahan UPK dan PNPM Mandiri Perdesaan didapatkan dari mantan faskab yang telah mengabdikan dirinya pada pemberdayaan masyarakat jauh sebelum ada PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan, meski tidak ada penghargaan dari beberapa pihak terhadap pengabdian beliau.
2. UPK Kecamatan Ngadirojo mampu merumuskan secara mandiri dan partisipatif lebih dikarenakan komitmen dan kapabilitas yang luar biasa dari pengurusnya. Terimakasih untuk Bayu, Fitri, Yulia, Jalu dan Wiji.







Rabu, 15 Februari 2012

PEMBERDAYAAN DAN PROSES PENYADARAN


Berawal dari facebook, saya memperoleh kenalan sesama praktisi pemberdaya. Ngeblog juga, di http://gilank18.wordpress.com, dan salah satu postingnya, dengan seijin yang bersangkutan, saya muat disini dengan judul yang sama. Semoga bermanfaat. 
________________________________________________________________________

PEMBERDAYAAN DAN PROSES PENYADARAN

Kasus fraud yang menghentak program pemberdayaan di rasa menjadi sebuah tamparan keras. Sebuah harian nasional memberitakan bahwa total dana yang di selewengkan mencapai angka sebesar 220 Milyar Rupiah yang terakumulasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah program pemberdayaan yang di gadang-gadang sebagai program pemberdayaan terbaik dan tersukses di negeri ini. Itu angka dari data yang tercatat, yang di laporkan dan di temukan. Untuk kasus-kasus yang belum di ketahui atau di laporkan masih mungkin angkanya menjadi lebih besar.
Kasus tentang penilapan uang program oleh konsultan, birokrat, pelaku pelaksana dari tingkat desa sampai tingkat atas, uang siluman untuk meloloskan kegiatan proyek, pemotongan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab masih mendominasi dan mewarnai perjalanan program. Dan ini hampir secara merata terjadi di setiap lini. Meskipun tidak bisa di bandingkan dengan kasus korupsi raksasa di negeri ini, namun setidaknya ini sudah harus menjadi catatan merah sekaligus warning bagi kita untuk menyelamatkan uang rakyat yang telah diamanatkan untuk pembangunan.
Program pemberdayaan hadir di tengah stigma negative masyarakat akan pembangunannya. Berpuluh tahun masyarakat tidak pernah di ikutkan serta di libatkan dalam proses pembangunan desanya, sehingga lambat laun menggumpal kesadaran bahwa yang memiliki uang adalah Pak Kades, Camat, Bupati hingga Presiden. Rakyat merasa tidak punya hak apa-apa untuk ikut berpartisipasi. Karena toh berpartisipasi saja juga belum tentu ada hasilnya yang nyata, yang dapat di rasakan langsung oleh mereka. Seringkalinya yang mereka dapatkan adalah semacam hadiah, gula-gula permen asam manis pembangunan, yang kadangkala kurang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Dan hasilnya masih terdapat kegiatan proyek pembangunan yang mangkrak dan tidak dapat digunakan secara optimal.
Rakyat juga masih terkesan menganggap segala program yang hadir di desa mereka adalah bantuan pemerintah. Proyek. Bukan atas dasar kesadaran bahwa itu hak mereka sebagai warga negara untuk juga ikut menikmati pembangunan yang adil dan merata. Yang dapat meningkatkan harkat dan kesejahteraan bersama. Imunitas cultural ini sungguh sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Dengan kosmologi pemikiran seperti itu, maka mayoritas masyarakat menjadi apatis dan cuek terhadap pembangunan. Mereka kadangkala tidak mau perduli, ac dengan segala proses pembangunan di desanya. Karena menurut mereka memang membangun itu tugasnya pemerintah.
Dengan adanya program pemberdayaan, masyarakat yang selama ini menjadi objek pembangunan, di beri peluang untuk beralih haluan menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Dengan diberikannya kewenangan dan otonomi serta di dukung oleh demokrasi dalam musyawarah mufakat.
Masyarakat menyambut gegap gempita dengan tepuk tangan bersorak-sorai, ketika mendapatkan alokasi dana. Mereka tentunya bergembira karena ingin ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan desanya. Namun disamping niat baik itu ternyata kadangkala (meskipun tidak semuanya) juga masih disisipi motivasi mendapatkan proyek yang outputnya adalah mengorbankan asas manfaat dari kegiatan tersebut.
Seringkali terdengar celotehan, “Ah ini kan uang negara, tidak ada yang di rugikan”. Toh yang menikmati juga masyarakat kita sendiri.” Kata mereka. Dan masyarakat tidak sepenuhnya di persalahkan memiliki naluri seperti itu. Mereka setiap hari selama berpuluh-puluh tahun di ajari oleh sistem yang membuat mereka mau tidak mau berfikir dan bertindak seperti itu.
Maka ketika kran otonomi daerah di buka, ketika regulasi berubah dari sistem perencanaan top down menjadi sistem bottom up, ketika segala aspek perencanaan pembangunan harus melalui musyawarah mufakat, ketika pelaksanaan kegiatan tidak lagi di dominasi oleh kalangan birokrasi tertentu, ketika masyarakat menjadi garda depan penggiat pembangunannya sendiri terjadilah benturan-benturan di berbagai tingkat horisontal maupun vertikal. Kepentingan politis bertarung dengan kepentingan teknokratis. Kepentingan teknokratis bergulat dengan perencanaan partisipatif. Ini menyalahkan itu, utara menyalahkan selatan. Sampai wajah pemberdayaan kabur hilang terselip di antara pertarungan.
Proyek pemberdayaan yang secara teknis di mandatkan untuk di kelola masyarakat menjadi bahan bancakan di kalangan pelaku masyarakat sendiri. Kasus penyimpangan dari kades yang meminta jatah dana dari proyek, kisah tentang Tim Pelaksana yang menggelapkan dan memanipulasi material proyek, cerita tentang koordinator ekonomi desa yang memakai uang angsuran simpan pinjam kelompok untuk dirinya sendiri, Unit Pengelola Kegiatan yang , Fasilitator yang membawa kabur uang BLM, dan masih banyak lagi kejadian-kejadiannya yang memperlihatkan bahwa proses pelemahan pemberdayaan itu terkadang muncul dari dalam pelaku itu sendiri.
Oknum pelaku pemberdayaan itu sendiri yang semakin pandai, mampu memanfaatkan celah kelemahan dengan mencari pembenaran sendiri dengan mengatasnamakan pemberdayaan dan demokrasi. Saya meng-igah-iguhkan (baca mensiasati) dana itu tidak masalah, yang penting tidak sendirian karena di ketahui dan di setujui oleh yang lain. Meskipun dalam melegitimasi keputusan itu  menumpang di atas nama demokrasi dan forum rapat. Maka itu sah dan tidak di ganggu gugat.
Maka rakyat yang kepentingannya mestinya di wakili oleh bagian dari mereka sendiri, yang telah mereka pilih melalui forum demokrasi, yang mereka harapkan dapat menjadi ujung tombak kemandirian desa mereka, ternyata juga tidak ubahnya berperilaku seperti oknum pembangunan yang terlebih dulu ada. Yang mengkhianati amanat mereka.
Meskipun data menunjukkan bahwa hanya terdapat 0,2 % kasus penyimpangan dari total dana alokasi seluruh Indonesia, namun benih-benih penyelewangan sudah terlihat dari berbagai titik. Dan sudah harus kita respons dengan langkah-langkah yang strategis tanpa melemahkan proses pemberdayaan itu sendiri.
Kita sendiri telah menyetujui bahwa inti dari ruh pemberdayaan adalah tentang proses penyadaran masyarakat. Penyadaran tentang esensi hak atas pembangunan, hak social ekonomi budaya yang di mandatkan  dan tercantum dalam UUD alinea ke-4. Kasus-kasus penyimpangan yang terjadi tidak harus menggagalkan hasil yang telah di capai dari program pemberdayaan. Kasus ini, hanya menjadi bagian kecil dari langkah kita bersama untuk membenahi diri, sistem manajemen dan regulasi untuk dapat menjaga niat baik dalam membantu saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Purbalingga, 29 Januari 2012
N. Gilang Prayoga
Praktisi Pemberdayaan

AMING DAN BUNG KARNO






Beberapa hari ini saya merasa pekerjaan seakan tak kunjung habis. Selesai ini, datang yang itu, selesai itu datang yang inu. Bertubi -tubi. Mulai lelah jiwa dan raga. Dalam perjalanan dan pekerjaan memang sering kali kebosanan menjadikan kita semakin terpuruk tanpa kreatifitas. Menurut saya, kreatifitas berhubungan erat dengan daya imajinasi. Dan bila daya imajinasi mati, matilah kita sebagai manusia (cogito ergo sum). Ada saat dimana saya merasa lelah dan buntu dengan pekerjaan. Hilang semangat tak ada gairah kerja dan malas untuk bertindak.

Namun semuanya berhenti di hari ini. Hari ini saya tercerahkan melalui sebuah rentetan peristiwa sederhana.

Hari ini, seusai rakor kabupaten yang berdurasi sangat panjang kali lebar sama dengan luas, saat berhenti dilampu merah, saya melihat seorang ibu tua bersepeda membawa tumpukan kardus bekas, berkeringat mengayuh sepedanya menerobos lampu merah.
--- sampai disini masih biasa


Kemudian saat di SPBU, dari mobil sebelah saya terdengar dendang lagu Katon Bagaswaras (baca: Bagaskara) yang menyanyikan lagu KLA. Kurang lebih begini; "..Bekerja dengan cinta bagai Sang Pencipta membentuk citra insaninya..." Penggalan ini adalah kutipan dari puisi milik Kahlil Gibran. Dan Gibran adalah sumber kutipan utama semasa SMA dikala kasmaran.
--- sampai disini masih juga biasa

Saya kemudian melanjutkan perjalanan, sambil mengingat lanjutan lagu KLA tadi. Didepan sebuah salon saya melihat banci krosjender. 2 orang. Dandanannya mengingatkan saya pada Aming. Heboh. Rumbai - rumbai warna-warni. Di kabupaten kecil begini kok ada yang begitu heboh ya?
--- (meski heboh) masih saja biasa


Nah, sambil menunggu istri pulang kerja saya mampir ke warnet, googling kutipan Bung Karno dan tiba - tiba mendapatkan ini :
Yang mau hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak bekerja tidak makan, jika tidak makan pasti mati. Inilah undang-undangnya dunia, inilah undang-undangnya hidup, mau tidak mau semua makhluk harus menerima undang2 ini. Terimalah undang2 itu dengan jiwa yang besar dan merdeka, jiwa yang tidak menengadah melainkan kepada Tuhan.

(Coba baca sekali lagi, dengan gaya Bung Karno seperti foto diatas dan suara yang agak diberat - beratkan serta aksen jadul yang khas namun penuh wibawa.)

Dan sampai disini saya merasa perjalanan siang ini luar biasa. Mengapa? Gusti ora sare. Tuhan tidak tidur. Karena tidak tidur, maka Tuhan mendengar, bahkan Maha mendengar. Bahkan bagi orang yang jarang menengadah kepadaNYA sekalipun (seperti saya.. he..he..) Dikala saya lelah dan bosan karena bekerja, saya diingatkan melalui banyak hal. Ibu tua yang mengayuh sepeda, lagu KLA yang ngutip syair Gibran dan kutipan Founding Father kita. Hebat kan?




Lalu apa hubungannya dengan Aming???

Begini ceritanya. Tahun 2007. Saat itu saya nonton Soundrenaline di areal GWK Bali bersama pacar saya yang terakhir (dan kini menjadi istri serta calon ibu dari anak saya). Band yang tampil banyak, ada PAS, GIGI, SID dan banyak lagi. MCnya banyak juga, tapi yang saya ingat Tora dan Aming. Waktu itu, di sela-sela pergantian Band penampil, Aming teriak ke crowd (baca: penonton) : " MAU DUIIT? ADA YANG MAU DUIT??" Penonton yang rata-rata adalah mahasiswa dan kaum muda nan belum sukses menjawab lantang: "MAAUUU...". Dan Aming enteng menjawab balik, " KERRJAAAA!!!!"

_______________________________________________________________________



Sabtu, 28 Januari 2012

KERJA PRAKSIS PERWUJUDAN HAK RAKYAT ATAS PEMBANGUNAN MELALUI PNPM MANDIRI PERDESAAN*


Pembangunan dalam berbagai segi dan dimensinya merupakan upaya sistemik bagi pelaksanaan mandat pemerintah yang bermuara kearah cita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya pewujudan ini tidak dan bukan merupakan tanggung jawab tunggal pemerintah semata, juga rakyat sebagai subyek pembentuk dan pemegang kedaulatan hidup bernegara. Kesanggupan dan kesediaan seluruh rakyat mewujudkan kedaulatan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di lingkungan terkecilnya sekalipun dan dalam peri kehidupan sehari-hari merupakan penentu, apakah pembangunan dapat berjalan dan mampu mencapai tujuannya. 

         Pengalaman panjang sentralisme politik pembangunan di masa lalu, budaya paternalistik yang mendarah-daging, perasukan nilai budaya dan sikap-perilaku pragmatis-materialistik, serta oportunisme terhadap berbagai bentuk paket bantuan  dan target-target keproyekan banyak dianggap sebagai penanam apatisme masyarakat dalam menyikapi proses penyelenggaraan pembangunan, serta penanaman sikap pragmatisme dan sektoralisme kerja pelaksanaan pembangunan di berbagai lini. 

PNPM Mandiri Perdesaan dengan konsep kebijakan dan pelaksanaan program yang bertujuan “meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam mengambil keputusan dan pengelolaan pembangunan” dengan dituntun visi strategis “terciptanya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan, merupakan salah satu  upaya penyelenggaraan mandat pemerintah.

Melalui berbagai bentuk intervensi materiil dan non-materiil dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan program, PNPM-MP secara esensi memfasilitasi bagi terbukanya ruang kedaulatan dan aksesibilitas rakyat miskin dan perempuan perdesaan. Perspektif keberpihakan kepada rakyat miskin secara aplikatif ditempuh melalui berbagai bentuk tindakan (fasilitasi) afirmatif pro rakyat miskin, dan perspektif kesetaraan dan  keadilan gender diimplementasikan dalam berbagai bentuk tindakan (fasilitasi) afirmatif gender (pro perempuan). Aksi afirmativ ini memposisikan bahwa dalam ketertinggalan dan keterkungkungan struktural dan kultural, rakyat miskin dan perempuan memerlukan tindakan fasilitatif yang lebih membuka ruang dan melonggarkan dari jerat struktural dan kultural yang dihadapi dan meminggirkan.
     
Era otonomi daerah justru membuka peluang bagi percepatan dan penyelarasan program – program penanggulangan kemiskinan. Kini saatnya Pemerintah Daerah (Bupati dan DPRD) merespon ini semua. Penyelarasan dan sinergisitas dalam kebijakan pembangunan daerah terhadap kebijakan PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan mampu mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan. Semua ini harus dimaknai sebagai langkah politis demi terciptanya kebijakan pro rakyat dan langkah bersama dalam mewujudkan hak rakyat atas pembangunan. Semoga.

*tulisan ini disarikan dari beberapa sumber dan dimuat dalam buku profil PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri, dan dibagikan kepada SKPD serta DPRD yang hadir dalam MAD Pertanggungjawaban UPK, untuk kepentingan agitatif dan propaganda penegakan hak rakyat atas pembangunan.