Sabtu, 28 Januari 2012

KERJA PRAKSIS PERWUJUDAN HAK RAKYAT ATAS PEMBANGUNAN MELALUI PNPM MANDIRI PERDESAAN*


Pembangunan dalam berbagai segi dan dimensinya merupakan upaya sistemik bagi pelaksanaan mandat pemerintah yang bermuara kearah cita-cita terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya pewujudan ini tidak dan bukan merupakan tanggung jawab tunggal pemerintah semata, juga rakyat sebagai subyek pembentuk dan pemegang kedaulatan hidup bernegara. Kesanggupan dan kesediaan seluruh rakyat mewujudkan kedaulatan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di lingkungan terkecilnya sekalipun dan dalam peri kehidupan sehari-hari merupakan penentu, apakah pembangunan dapat berjalan dan mampu mencapai tujuannya. 

         Pengalaman panjang sentralisme politik pembangunan di masa lalu, budaya paternalistik yang mendarah-daging, perasukan nilai budaya dan sikap-perilaku pragmatis-materialistik, serta oportunisme terhadap berbagai bentuk paket bantuan  dan target-target keproyekan banyak dianggap sebagai penanam apatisme masyarakat dalam menyikapi proses penyelenggaraan pembangunan, serta penanaman sikap pragmatisme dan sektoralisme kerja pelaksanaan pembangunan di berbagai lini. 

PNPM Mandiri Perdesaan dengan konsep kebijakan dan pelaksanaan program yang bertujuan “meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam mengambil keputusan dan pengelolaan pembangunan” dengan dituntun visi strategis “terciptanya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan, merupakan salah satu  upaya penyelenggaraan mandat pemerintah.

Melalui berbagai bentuk intervensi materiil dan non-materiil dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan program, PNPM-MP secara esensi memfasilitasi bagi terbukanya ruang kedaulatan dan aksesibilitas rakyat miskin dan perempuan perdesaan. Perspektif keberpihakan kepada rakyat miskin secara aplikatif ditempuh melalui berbagai bentuk tindakan (fasilitasi) afirmatif pro rakyat miskin, dan perspektif kesetaraan dan  keadilan gender diimplementasikan dalam berbagai bentuk tindakan (fasilitasi) afirmatif gender (pro perempuan). Aksi afirmativ ini memposisikan bahwa dalam ketertinggalan dan keterkungkungan struktural dan kultural, rakyat miskin dan perempuan memerlukan tindakan fasilitatif yang lebih membuka ruang dan melonggarkan dari jerat struktural dan kultural yang dihadapi dan meminggirkan.
     
Era otonomi daerah justru membuka peluang bagi percepatan dan penyelarasan program – program penanggulangan kemiskinan. Kini saatnya Pemerintah Daerah (Bupati dan DPRD) merespon ini semua. Penyelarasan dan sinergisitas dalam kebijakan pembangunan daerah terhadap kebijakan PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan mampu mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan. Semua ini harus dimaknai sebagai langkah politis demi terciptanya kebijakan pro rakyat dan langkah bersama dalam mewujudkan hak rakyat atas pembangunan. Semoga.

*tulisan ini disarikan dari beberapa sumber dan dimuat dalam buku profil PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri, dan dibagikan kepada SKPD serta DPRD yang hadir dalam MAD Pertanggungjawaban UPK, untuk kepentingan agitatif dan propaganda penegakan hak rakyat atas pembangunan.

Selasa, 17 Januari 2012

JEJAK PERGERAKAN YANG (BELUM) TERHAPUS









Barusan googling dan mendapatkan artikel ini. Ada yang bilang ke saya dulu, verba volent scripta manent. Ini adalah beberapa jejak yang sempat terekam. Nama - nama yang tercantum dibawah ini, semoga tetap konsisten untuk bergerak. Demi cita wujudkan Indonesia yang lebih baik. Sejarah takkan pernah berhenti.

NOTULENSI DEKLARASI DAN SEMINAR
PARTAI PERGERAKAN KEBANGSAAN KOTA SEMARANG
Tgl : 20 Mei 2006
1. Pembukaan : Greg Sudargo
2. 
Doa Pembukaan : Winarno
3. 
Manifesto Partai Pergerakan Kebangsaan Kota Semarang : Iwan
Indonesia secara de facto telah hadir sebagai sebuah nation sejak deklarasi Sumpah Pemuda 1928, yaitu sebuah komitmen yang didasarkan atas kesamaan nasib dan sejarah. Indonesia tidak terbentuk atas ikatan-ikatan primordial tertentu. Dst…
4. - 
Pidato Politik Partai Pergerakan Kebangsaan : Satya Graha
dst…….
- Pembacaan Puisi : ” Dalam Gelap ” Oleh 
Djumadi (Batang)
Pembacaan Naskah Deklarasi Partai Pergerakan Kebangsaan Kota Semarang : Satya Graha, dst……..
- Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
5. Break 10 Menit.
6. 
SEMINAR, Narasumber : - J Kristiadi (CSIS)
- Prof. Sudharto PH
- Soedaryanto
Moderator : Ichwan
Soedaryanto : Latar blkg pendirian partai berangkat dari proses pilpres 2004, harapan masyarakat Indonesia melampaui apa yg dpt dilakukan oleh pimpinan yang dipilih oleh mereka. Muaranya adalah kekecewaan, pertanyaannya adalah mengapa rakyat tidak bangkit untuk memperbaiki nasibnya sendiri dan percaya kepada kekuatannya sendiri.
Prof. Sudharto PH : GBHN 1973 sudah mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan tetapi implementasinya mengecewakan. Jika pertumbuhan ekonomi dihadapkan dengan lingkungan hidup maka yang selalu unggul adalah pertumbuhan ekonomi. Lingkungan mrpkn aspek yg tdk menghslkan tetapi mengandung aspek investasi, lingkungan bisa menjadi salah satu isyu yg sangat strategis untuk agenda partai.
J Kristiadi : Ada bahaya bahwa partai menjadi tidak rukun dan melenceng setelah berkuasa. Cita-cita partai ini harus dibangun sejak awal melalui prinsip-prinsip tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Sifat dasar partai apapun dapat dirunut secara geneologi, siapa yang mendirikan/membentuk, sentralisasi atau desentralisasi, dst.
Partai ini dibangun oleh orang-orang lokal, tidak punya tokoh-tokoh populer berpengaruh, dibangun atas dasar kekuatan sendiri, jauh dari kemewahan, semuanya merupakan awal yang bagus untuk menjadi besar.
Partai harus bisa mendidik kader-kadernya agar berketrampilan dan tidak untuk mendidik kader partai menjadi seperti milisia, mental harus dididik agar tidak tergoda oleh kekuasaan. Partai harus mempunyai orientasi/standar rasionalitas yang tinggi, tidak boleh eksklusif. Partai harus mempunyai ideologi kemanusiaan, setiap perbedaan bisa diselesaikan secara terbuka.
Dilanjutkan dengan diskusi.
7. PENUTUP.

SADUMUK BATHUK SANYARI BUMI


“Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi” , sebuah ungkapan Jawa yang bermakna “walau hanya seluas ujung jari, bumi/tanah milik kita, harus kita pertahankan. Ungkapan inilah yang langsung terlintas ketika terjadi konflik agraria. Dimana negara saat terjadi konflik agraria? Dimana pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Kita punya peraturan, regulasi yang mengatur soal ini, yaitu UU Pokok Agraria (PA) No 5 Tahun 1960, Undang - Undang Revolusioner, sebuah regulasi yang benar - benar mampu menterjemahkan Pancasila. Sebuah Undang - Undang yang mampu menjawab pertanyaan besar waktu itu; Setelah Merdeka Lalu Kita Mau Apa? Sebuah Undang - Undang yang kemudian menjadi sebuah alasan kaum neoliberalis waktu itu untuk menggulingkan rezim Soekarno.

Apa hubungan reforma agraria dengan Pancasila? Benarkah reforma agraria adalah kiri? (terlepas dari perdebatan apakah Pancasilais itu kiri atau bukan), mengingat UU ini ditetapkan pada saat rezim Soekarno yang dianggap kiri oleh orde baru. Lantas mengapa kita tak pernah belajar dari sejarah?

Berikut tulisan yang dari seorang aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria, yang saya copas dari http://www.sinarharapan.co.id/content/read/pembaruan-agraria-paham-kebangsaan-yang-terlupakan/

Semoga bermanfaat.
Catatan : Bila menggelorakan (baca: menyebarluaskan, mengagitasi dan mempropagandakan) Reforma Agraria adalah kiri, maka saya siap dianggap kiri. 
_______________________________________________________________________________


Pembaruan Agraria, Paham Kebangsaan yang Terlupakan

Penulis : Sidik Suhada*   

Beberapa minggu terakhir ini berita tentang dugaan pembantaian terhadap petani di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung, terus mewarnai media massa.
Kejahatan kemanusiaan yang secara kasatmata itu mengiris-iris nurani dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan, dan aksi kekejaman semacam itu bukan yang pertama kali terjadi di negara ini.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2010, sedikitnya ada 106 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia.
Rinciannya: sengketa tanah antara petani dengan pihak perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41), kehutanan (13), pertambangan (tiga), pertambakan (satu), perairan (satu), dan konflik lainnya (dua).
Sepanjang 2010 itu, sekurangnya tiga petani tewas, empat orang tertembak, delapan orang luka-luka, dan sekitar 80 petani dipenjarakan karena mempertahankan hak mereka.
Sementara di tahun yang sama, Komnas HAM mencatat pengaduan kasus sengketa lahan mencapai 819 kasus. Sepanjang September 2007-September 2008, laporan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM dalam pengaduan pelanggaran hak atas tanah menempati peringkat kedua dengan jumlah 692 kasus. Itu semua menunjukkan negara tidak berpihak pada kaum tani.
Penyebab Konflik
Tak dapat dipungkiri, penyebab konflik itu terjadi karena negara tidak bersedia melaksanakan apa yang disebut sebagai Pembaruan Agraria, sehingga berbagai ketimpangan dan kesenjangan hak atas kepemilikan tanah terjadi. Ketimpangan kepemilikan tanah itu dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
BPN mencatat, saat ini sekitar 56 persen tanah hanya dikuasai 0,2 persen orang. Sementara di sisi lain, ada sekitar 7,3 juta hektare tanah dikuasai pihak perusahaan swasta dan dibiarkan telantar. Sementara hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah.
Rata-rata petani gurem hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Setiap tahun penyempitan lahan bagi petani terus terjadi. Penyempitan lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha.
Saat ini ada sekitar 29 juta hektare untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektare untuk pengusaha hutan tanaman industri, 6 juta hektare dikuasai pengusaha perkebunan sawit, dan 2,4 juta hektare dikuasai Perhutani.
Tentu saja ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sosial di kalangan kaum tani. Tanah yang adalah sumber kehidupan menjadi barang langka yang harus diperebutkan, kalau perlu hingga mati.
Selain itu, ketiadaan kebijakan politik agraria dari pemerintah yang berpihak pada rakyat dan kaum tani di perdesaan, serta tidak adanya birokrasi pemerintah yang pro pada keadilan agraria juga memicu lahirnya konflik agraria.
Ini karena setiap ada pengembangan lahan oleh perusahaan atau perkebunan kerap bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Biasanya pemerintah terkesan membiarkan, jarang berpihak kepada kaum tani.
Makna Pembaruan Agraria
Penulis ingin mengingatkan kembali betapa pentingnya melaksanakan pembaruan agraria, dalam upaya mengakhiri konflik agraria yang merugikan petani.
Dengan demikian harus ada perombakan total pada struktur kepemilikan tanah, demi mengakhiri ketimpangan. Hal itu akan menguatkan akses terhadap sarana dan prasarana produksi ekonomi kaum tani dan membangkitkan usaha pertanian kolektif di perdesaan.
Hanya dengan pelaksanaan pembaruan agraria secara konsisten, bangsa Indonesia dapat mencapai cita-cita keadilan sosial sebagaimana dicanangkan para Bapak Bangsa. Secara gamblang dan jelas, UU Pokok Agraria (PA) No 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa keadilan agraria adalah dasar ekonomi nasional yang akan membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar pembangunan ekonomi ini tentu sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang asli, di mana konsep perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dengan begitu tidak ada ketimpangan hak atas kepemilikan tanah, dan tidak ada ketimpangan sosial yang disebabkan sistem ekonomi neoliberal seperti saat ini.
Sebagai jalan menuju terwujudnya keadilan dalam berbangsa dan bernegara, semangat yang terkandung dalam UUPA No 5 Tahun 1960 sangat baik. Ini karena UUPA memberikan amanat agar hak-hak dasar rakyat, terutama para petani gurem dan petani penggarap tanah, bisa mendapatkan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata.
Semangat UUPA yang ingin segera mengakhiri ketimpangan hak atas kepemilikan tanah itu sebenarnya juga bentuk dari cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang ingin memerdekakan diri dari belenggu penjajahan.
Ini karena hakikat perjuangan kemerdekaan dari penjajah adalah perlawanan terhadap penguasaan lahan oleh para pemilik modal asing atas sumber-sumber pokok agraria di Indonesia.
Selain itu, UUPA juga cermin perlawanan rakyat terhadap kebijakan kerja rodi atau penggunaan tenaga rakyat secara murah untuk produksi berbagai komoditas ekspor, yang membuat rakyat Indonesia tertindas di tanahnya sendiri.
Karena itu, tak salah jika Pembaruan Agraria dimaknai sebagai paham kebangsaan. Spiritnya melaksanakan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menegakkan UUD 1945.
Prasyarat Pokok
Sebagai ide dan gagasan, pembaruan agraria sebagai paham kebangsaan tidak akan dapat tercapai tanpa peran serta semua pihak, terutama komitmen dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. Bahkan komitmen dan kemauan politik ini adalah prasyarat utama dan pertama agar pembaruan agraria yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini dapat tercipta.
Prasyarat kedua adalah para elite politik dan pejabat birokrasi dalam pemerintah jangan melibatkan diri dalam bisnis ekonomi kapital. Kalau demikian, tanah yang seharusnya tidak menjadi barang dagangan bisa dijadikan komoditas. Akibatnya, konsentrasi penguasaan tanah akan kembali tersentralkan dalam kekuasaan modal yang didukung kekuasaan elite politik.
Ketiga, adanya organisasi-organisasi rakyat, khususnya serikat petani yang kuat dan berperan secara aktif untuk untuk mengawal pelaksanaan pembaruan agraria. Tanpa keterlibatan organisasi petani, gagasan pelaksanaan pembaruan agraria sangat berpotensi menyimpang dan disimpangkan.
Keempat, tanpa data yang lengkap dan akurat, pembaruan agraria bisa salah sasaran. Data ini penting untuk menentukan objek dan subjek dari pelaksanaan pembaruan agraria.
Sebagai paham kebangsaan, gagasan pembaruan agraria rupanya harus kembali didengungkan untuk mengingatkan pemerintah. Pembantaian kaum tani dalam konflik agraria di Lampung dan Sumatera Selatan adalah bukti nyata bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara baik dan benar, malah diselewengkan.
Ini karena memberikan pembelaan terhadap petani atas hak kepemilikan tanah, dan melindungi tanah-tanah petani adalah amanat konstitusi dan undang-undang.
Jangan terulang kasus kekerasan seperti di Mesuji. Akhiri pembantaian kaum tani yang berjuang untuk hak atas kepemilikan tanah, jangan ada lagi perampasan tanah secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pemimpin Nasional REPDEM Bidang Penggalangan Tani, dan aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Jumat, 13 Januari 2012

ANALISA SOSIAL ALA PANGERAN SAMBERNYAWA

Sebagai pemberdaya, aktivis gerakan ataupun sebagai politisi atau bahkan sebagai orang yang bergerak dibidang marketing seringkali kita membutuhkan analisa sosial. Dalam sejarah kerajaan dahulu, analisa sosial sering digunakan untuk memetakan kekuatan dan kekuasaan sebuah kerajaan. Demikian pula oleh Pangeran Sambernyawa, atau Raden Mas Said, atau KGPAA Mangkunegoro I, mempunyai cara tersendiri dalam melakukan pemetaan terhadap wilayah kekuasaanya, terutama untuk wilayah Wonogiri dan sekitarnya.

Masih relevankah kini? Dalam sebuah pembicaraan dengan seorang tokoh masyarkat Paranggupito, analisa sosial ini tak lagi relevan, seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi yang mulai memudarkan batas - batas tersebut. Tapi ada baiknya kita pahami ini sebagai sebuah landasan dan pijakan awal dalam melakukan orientasi wilayah, atau pemetaan sosial.
_________________________________________________________________________

Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said atau yang seringkali disebut sebagai Pangeran Sambernyawa mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I.

Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul.

KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :
1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.
2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.
3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah.
4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.
5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab.
Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut.