Sabtu, 27 Agustus 2011

KETERLAMBATAN PENCAIRAN DDUB (SRAGEN DUA TAHUN YANG LALU)

Sekitar dua tahun yang lalu, di akhir 2009, saya diminta Faskab PNPM MP Kabupaten Sragen untuk merumuskan bersama beberapa poin pemikiran untuk kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, berkaitan dengan keterlambatan pencairan cost sharing / APBD yang dialokasikan untuk PNPM Mandiri Perdesaan. Tulisan ini sempat beredar di beberapa pemegang kebijakan di kabupaten Sragen saat itu.
Saat ini, dua tahun kemudian, tulisan tersebut masih relevan untuk diperbincangkan, mengingat masih ada sedikit keterlambatan turunnya cost sharing (kini DDUB) baik di kabupaten Sragen maupun kabupaten lainnya. Untuk itu, dengan seijin bapak Wursito Larso, tulisan ini saya posting disini. Semoga bermanfaat.
MENDORONG APBD PRO RAKYAT MELALUI
PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN**
Poin – Poin Pemikiran
1. PNPM MPd merupakan keberlanjutan dari program – program sebelumnya, yang diawali oleh sebuah pilot project bernama KDF ( Kecamatan Development Fund ). Pilot project ini dilaksanakan pada tahun 1997, semasa pemerintahan Soeharto, di 3 ( tiga ) kabupaten yang tersebar di 3 ( tiga ) propinsi, yaitu Belu ( NTT ), Sukoharjo ( Jateng ) dan Solok ( Sumbar ). Karena dianggap berhasil, maka mulai tahun 1998, pasca reformasi, program ini disebarluaskan dipelbagai tempat di Indonesia dengan nama Program Pengembangan Kecamatan ( PPK ). Pada awalnya program ini ditangani oleh Bappenas, barulah kemudian beralih ke Dirjen PMD, dibawah Departemen Dalam Negeri.
2. PNPM MPd sebagai program pemberdayaan menganut sistem perencanaan dari bawah ( bottom up planning ). Sistem perencanaan ini sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, karena sudah ada sejak orde baru, meskipun saat itu yang ada hanyalah kata tanpa makna, dalam pelaksanaan di lapangan jauh dari yang seharusnya. Semasa orde baru implementasinya tetap dari atas ( top down ), sehingga muncul pernyataan bottom up menjadi mboten up.
3. Dalam pelaksanaannya PNPM MPd dilengkapi dengan perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak berupa aturan – aturan fleksibel, sebagai ciri program pemberdayaan masyarakat. Sedangkan perangkat keras berupa penyediaan tenaga fasilitator dan atau konsultan dari tingkat pusat hingga kecamatan sebagai pihak ketiga, dimana masyarakat sebagai pihak pertama dan birokrasi sebagai pihak kedua. Tanpa menafikan peran birokrasi, peran pihak ketiga adalah menjaga berjalannya tahapan program ini sesuai dengan prinsip dan aturan yang ada.
4. Tahapan program ini setidaknya meliputi 15 tahap, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pelestarian, dimana setiap tahapannya selalu melibatkan masyarakat. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan masyarakat, orientasi program tidak hanya pada hasil, melainkan lebih dari itu, yaitu pada proses dan hasil. Dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka peran dan fungsi fasilitator serta konsultan bukanlah sebagai pelaksana program, sebab pelaksana program tetaplah masyarakat.
5. Peran birokrasi adalah sebagai penanggungjawab sekaligus pengelola program secara makro, berkaitan dengan pendanaan BLM, fasilitasi serta pengawasan penggunaannya.
6. Harapannya di tingkat masyarakat ( dan juga birokrasi ) terjadi perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan program berbasiskan pemberdayaan ini. Dengan adanya perubahan ini diharapkan masyarakat dan birokrasi menjadi lebih berdaya dan menumbuhkan keberpihakan pada Rumah Tangga Miskin ( RTM ). Mengingat tujuan dari PNPM Mandiri Perdesaan adalah menurunkan angka kemiskinan dan angka pengangguran.
7. Sejak tahun 2006, komposisi Bantuan Langsung Masyarakat PNPM MPd tidak lagi sepenuhnya berasal dari APBN. Untuk Jawa Tengah komposisinya adalah 80% dari APBN dan 20% dari APBD. Kesepakatan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat berkaitan dengan komposisi pendanaan ini dituangkan dalam Nota Kesepahaman sebelum program dimulai. Nota kesepahaman ini di kabupaten ditanda tangani oleh Bupati dan Ketua DPRD di bawah lambang burung Garuda Pancasila. Komposisinya bagi Jawa Tengah 20% dari APBD biasa disebut sebagai cost sharing atau dana pendamping.
8. Penyediaan dana pendamping seharusnya tidak menjadi beban bagi daerah, mengingat besarnya manfaat program bagi masyarakat di daerah tersebut. Dengan adanya Nota Kesepahaman ini berarti pemerintah daerah terikat pada sebuah janji untuk menyediakan dana pendamping sebesar 20%. Selain itu dengan penyediaan dana pendamping melalui APBD dapat menjadi tolok ukur keberpihakan suatu daerah terhadap rakyat ( APBD pro rakyat ).
9. Berdasarkan surat dari Dirjen PMD nomor 414.2/3385/PMD perihal Tambahan Petunjuk Pencairan BLM PNPM-MP T.A. 2009, muncul kebijakan baru berkaitan proses pencairan dana BLM dimana dana pendamping dapat dicairkan pada tahap kedua, setelah pencairan tahap pertama sebesar 40% dari APBN. Terlepas dari adanya kebijakan baru ini, dana pendamping tetap harus disediakan pada tahun anggaran yang bersangkutan.
10. Pelaksanaan tahapan PNPM MPd di Kabupaten Sragen telah sampai pada tahap pelaksanaan, dimana proses pencairan dana BLM perlu segera dilakukan. Sehingga apa yang telah direncanakan secara partisipatif dapat terwujud, mengingat besarnya harapan dari masyarakat akan kelancaran tahapan program ini.
11. Hingga saat ini belum ada kejelasan dan pernyataan resmi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen berkaitan dengan alokasi dana pendamping BLM PNPM MD T.A. 2009. Meskipun, sekali lagi, kesepakatan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat berkaitan dengan komposisi pendanaan ini telah dituangkan dalam Nota Kesepahaman sebelum program dimulai.
12. Sesuai dengan tugas dan peran masing – masing pihak, maka dalam hal ini masyarakat, birokrasi dan fasilitator hendaknya dapat saling bersinergi demi kelancaran program. Mengingat tujuan mulia dari PNPM MPd yaitu untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran.
** dirumuskan oleh : Wursito Larso, Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan Kab.Sragen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk saran bahkan cacian...