Sabtu, 27 Agustus 2011

PADHANG NGAREP PADHANG MBURI, MULYA PRASAJA DESANE (PNPM MPd)


Saya percaya bahwa dalam sebuah gerakan tidak ada jalan buntu. Apabila pemberdayaan masyarakat kita maknai sebagai sebuah gerakan, maka kita percaya bahwa dalam pemberdayaan masyarakat tidak ada jalan buntu. Dibutuhkan kreativitas untuk meretas jalan baru, sehingga masyarakat dampingan tidak menjadi kaku, melainkan terus berkembang ke arah yang lebih baik.
Awal 2011, saya berganti lokasi tugas, dengan tetap menjalankan peran sebagai fasilitator pemberdayaan. Setelah dua tahun di kecamatan Paranggupito, kini saya berpindah – masih di Wonogiri – di kecamatan Ngadirojo. Banyak pengalaman baru, pengalaman yang baik, yang menurut saya bisa di-share-kan dan didiskusikan dengan kawan – kawan fasilitator lain.
Kegagapan Intelektual
Seringkali dalam pelaksanaan sebuah program, banyak ditemui kendala komunikasi antar pelaksana, dalam hal ini pendamping/ birokrasi dengan kelompok sasaran program (masyarakat). Bahasa program biasanya dilatarbelakangi oleh teori – teori pembangunan yang ngawang – ngawang dan kurang membumi. Hal ini bisa dipahami ketika budaya kampus dan intelektual semakin jauh dari kondisi riil masyarakat. Sehingga ketika teori – teori tersebut dipraksiskan, muncul kegagapan dari pelaku program dalam menerjemahkan esensi/ inti dari program tersebut.
Demikian pula dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan, atau PNPM MPd. Program yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat sebagai metodenya, dan fasilitator sebagai salah satu kunci program, yang berperan sebagai pendamping masyarakat perdesaan. Terkadang dalam menerjemahkan program, secara tidak sadar fasilitator merasa ‘lebih’ dibanding masyarakat dampingannya. Sehingga penggunaan metode dan bahasa dalam berkomunikasi – bukannya memperjelas – seringkali menimbulkan kebingungan bagi masyarakat perdesaan.
Transparansi sebagai Brand Image
Telah kita pahami bersama, terdapat beberapa prinsip, yaitu sesuatu yang harus ada dan menjadi roh, dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Salah satunya yang paling mendasar bagi saya adalah prinsip transparansi dan akuntabilitas. Transparansi menjadi penting ketika kita dihadapkan pada sebuah era keterbukaan yang semu, keterbukaan yang ditutup – tutupi, keterbukaan yang direkayasa. Keterbukaan informasi melalui pers, baik televisi maupun suratkabar, dan kemudahan akses bagi kita untuk menjangkaunya ternyata tidak cukup membuat kita menjadi mengetahui kejadian sebenarnya. Perlahan namun pasti, menjadi paradoks.
Ditengah – tengah keterbukaan yang semu tersebut, PNPM Mandiri Perdesaan muncul sebagai alternatif baru dalam pembangunan masyarakat perdesaan. Transparansi diterapkan melalui sistem yang terbuka, dimana semua pihak terlibat dalam pelaksanaannya, mulai dari perencanaan hingga pelestariannya. Faktor inilah yang kemudian menjadi unsur pembeda dari program pemerintah sebelum dan atau sesudahnya, dimana masyarakat kesulitan dalam mendapatkan akses informasi berkaitan dengan rangkaian tahapan program tersebut. Entah karena sistemnya yang memang tertutup atau ada alasan – alasan lain yang pada akhirnya menimbulkan kecurigaan.
Singkatan Baru Pemaknaan Baru
Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan Ngadirojo mempunyai pemaknaan baru bagi PNPM Mandiri Perdesaan, atau PNPM MPd. Pemaknaan atau singkatan baru tersebut adalah Padhang Ngarep Padhang Mburi Mulya Prasaja desane. Kurang lebih bermakna bahwa transparansi dan keterbukaan akan berdampak pada kemuliaan dan keterbukaan di tingkat desa. Berdasar pengalaman kami, sosialisasi program dengan cara seperti ini lebih efektif. Dari camat hingga anggota kelompok mampu memahami esensi program, dengan cara yang lebih sederhana dan mengena. Hal ini kemudian menjadi brand image yang baru, pemaknaan terhadap sebuah merek yang baru. PNPM Mandiri Perdesaan kemudian dimaknai sebagai sebuah sistem yang memperjuangkan budaya keterbukaan, yang akan membawa kemuliaan bagi masyarakat desa.
Konsistensi atau Mati
Metode sosialisasi yang sederhana tentunya akan menjadi sia – sia apabila tidak diimbangi dengan konsistensi penerjemahan esensi program tersebut. Brand image, akan menjadi sia – sia ketika tidak ada konsistensi dalam pelaksanaannya. Sama halnya dengan politik pencitraan yang dilakukan oleh SBY. Sebagus apapun pencitraan sebuah program akan menjadi sia – sia ketika tidak ada konsistensi dalam pelaksanaannya. Sehingga, sekali lagi, sosialisasi sebuah program – apapun metodenya – harus ditunjang dengan konsistensi dari pelaksanaan program tersebut.
Apabila tidak konsisten, maka masyarakatpun telah siap membuat pemaknaan baru terhadap program tersebut. Meskipun (mungkin) terkesan minor, namun tentunya pemaknaan baru tersebut tidak muncul begitu saja. ND (Neighbourhood Development), bagian dari PNPM Mandiri Perkotaan, dengan cerdas dimaknai menjadi Nata Desa. Namun bila tidak konsisten bisa menjadi Nengdi Dhuite (kemana uangnya).
Contoh lain, untuk program pemerintah di era orde baru, Koperasi Unit Desa, karena tidak adanya transparansi dan peningkatan kesejahteraan secara signifikan bagi anggota KUD, maka pemaknaannya menjadi Ketua Untung Dulu. Atau program lain, KUT atau Kredit Usaha Tani. Karena kesalahan sasaran dalam pemberian kredit, maka sebagian besar dananya tidak kembali. Dan KUT menjadi Kemana Uangnya Tidak tau.
Lembaga di desa juga demikian. BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang seharusnya mampu menjadi penyeimbang kekuasaan bagi kepala desa seringkali tidak mampu berbuat banyak. Sehingga kini menjadi Balane Pala Desa (Temannya Kepala Desa). LKMD (kini LPM) juga demikian. Karena tidak jelas arah dan tujuannya, menjadi Lungguh Kursi Mudhun Dhuite (Duduk di kursi saja /menghadiri rapat bisa dapat uang)
Tak ketinggalan juga untuk PPK (Program Pengembangan Kecamatan), cikal bakal PNPM Mandiri Perdesaan, saat itu dimaknai sebagai Proyek Paling Kesuwen (Proyek Paling Lama), mengingat begitu banyaknya tahapan yang harus dilalui. Demikian juga saat menjadi PNPM MPd yang tetap mengadosi tahapan yang ada di PPK, tanpa adanya pengembangan (baca: kreatifitas dari pelakunya), kemudian diberi pemaknaan baru, Program Nasional Penuh Musyawarah Marai Pecasndahe. Ada lagi, dari kawan perangkat desa di Manisrenggo Klaten, yang memaknai BKAD sebagai Badan Kerjasama Amplop dan Duit.
Akhir Kata
Tentunya kita tidak ingin PNPM Mandiri Perdesaan, program yang mulia tujuannya ini berakhir tragis seperti program – program lain. Konsistensi kita sebagai fasilitator terhadap prinsip – prinsip dasar serta tujuan program, dan kreativitas kita dalam menerjemahkannya kepada masyarakat perdesaan menjadi salah satu prasyarat dari keberhasilan program ini. Semua kembali ke kita masing – masing. Tergantung pada sejauh mana kita memaknai program ini. Setiap kita mempunyai cara pandang yang berbeda. Asal positif, perbedaan cara pandang ini akan memperkaya program ini sendiri. Mari yakini bersama, bahwa tidak ada jalan buntu dalam pemberdayaan masyarakat.
Sekali lagi semuanya tergantung pada latar belakang dan cara pandang kita terhadap program ini. Seperti saya yang memaknai PNPM MP sebagai Perlahan Namun Pasti Mulai Membasiskan Pancasila.
Nuwun, Merdeka!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk saran bahkan cacian...